Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 1st Chapter: Deny Trauma (1)

Sebagai pengantar, melalui sang filosofer si penulis menjelaskan kepada pembacanya mengenai tiga tokoh besar di dalam dunia psikologi: Sigmund Freud, Carl Jung dan Alfred Adler. Jujurly saya hanya pernah mendengar nama Freud dan belum pernah membaca buku beliau pula. Jadi semua ini benar-benar dalam range wa-ndatau buat saya pribadi.

Adler dituliskan memiliki teori yang bertolak belakang dengan Freud. Adler hidup di masa yang sama dengan Freud dan bekerja sama di dalam Vienna Psychoanalytic Society, sebuah pertemuan yang dimulai secara informal di rumah Freud pada bulan November 1902. Freud mengundang beberapa ahli kesehatan untuk berdiskusi tentang hal-hal yang menarik dalam bidang psikologi dan neuropatologi.

Kegiatan berkumpul dan mengobrol bersama setiap hari Rabu ini berkembang menjadi perkumpulan ahli Psychoanalytic pertama di dunia yang aktif selama 36 tahun dan memiliki 150 anggota.

Kebayang ya kalau orang-orang maha pintar itu ketemu trus berdiskusi, gimana memusingkannya pembahasan mereka. Image: Freud.org.uk.

Nama Adler memang tidak sepopuler Freud, tetapi konsepnya yang berjudul ‘Individual Psychology’ sudah menjadi teori yang begitu menyatu di dalam pemikiran dan kehidupan orang awam. Buku ini menjelaskan bahwa beberapa penulis buku self-help terkenal seperti Dale Carnegie dan Stephen Covey pun mengadopsi (atau paling tidak banyak dipengaruhi oleh) teori Adler di dalam tulisan mereka.

In other words, rather than being a strict area of scholarship, Adlerian psychology is accepted as a realisation; a culmination of truths and of human understanding. -> Intinya, teori Adler ini bukan sekedar teori psikologi tapi merupakan kebenaran yang bisa diterapkan. Begitu kira-kira terjemahan versi saya.

Orang bisa berubah

Di buku ini, sang pemuda pun mulai beragumen bahwa orang tidak bisa berubah. Buktinya, banyak orang yang berusaha dan ingin berubah – itu tandanya berubah itu susah atau bahkan muskil, makanya sampai orang-orang frustrasi karena ingin berubah.

Sebagai contoh teman si pemuda, yang entah kenapa tidak mampu untuk keluar dari rumah. Mungkin dia punya trauma tertentu di masa lalunya, pria ini langsung ketakutan dan lemas bila harus keluar dari pintu kamarnya. Betapapun dia ingin berubah dan dia tidak bisa! Si pemuda sangat yakin bahwa temannya ini menjadi seperti ini sebagai produk dari sebuah trauma dari masa lalunya.

Kesimpulan sang pemuda: jadi, manusia tidak akan bisa berubah karena masa sekarangnya ini ditentukan oleh masa lalunya. “Before an affect, there’s a cause.”

The past doesn’t matter

Sang filosofer menyanggah teori si pemuda ini, menjelaskan: kalau si pria ini jadi seorang pertapa karena memiliki trauma yang disebabkan oleh orangtuanya , berarti semua orang di dunia yang pernah disakiti oleh orangtua akan menjadi pertapa juga, bukan?

“Determinism”: Our present and our future have already been decided by past occurrences, and are unalterable.

πŸ“ Membaca ini membuat saya teringat pada banyak cerita – termasuk cerita hidup saya sendiri: betapa familiarnya cara berpikir semacam ini. “Karena dulu saya mengalami A, wahajar sahaja kalau kondisi saya menjadi B. Dan tidak, tidak! Tidak ada yang akan mampu mengubah situasi ini. Saya sudah terlanjur menjadi seperti rumput yang patah, tidak akan bisa ditegakkan kembali!”

πŸ“ Wat zielig, kata orang Belanda. Sangat menyedihkan. Tapi jujur saja, saya pun sering berpikir demikian.

Si filosofer melanjutkan: teman si pemuda ini menjadi seorang penyendiri bukan karena dia mengalami sebuah trauma di masa lalunya. Sebaliknya: pria ini memutuskan untuk tidak keluar dari rumahnya, dan lalu menciptakan perasaan ketakutan untuk menjadi alasannya.

Your friend is insecure, so he can’t go out. Think about it the other way around. He doesn’t want to go out, so he’s creating a state of anxiety.

TCD, page 9.

Jeglek, celepuk, celepuk, jleb! Sakit mak, teori kamu menusuk kalbuku!

Aetiology vs Teleology

Ada dua pendekatan di dalam melihat suatu keadaan:
Aetiology: keadaan disebabkan oleh sesuatu; dan
Teleology: sebuah fenomena/keadaan terjadi karena adanya satu tujuan, bukan karena sebagai sebab akibat.

Kata pak filosofer: selama kita masih berkutat di aetiology ini, selama kita masih mikir: aku tuh kayak gini karena aku tuh dulu mengalami itu – kita nggak akan bisa melangkah maju. Not even a step forward!

πŸ“ Nah lo, bener juga ya… terkadang kita (eh saya, kalik) sering punya victim mentality yang berfokus pada kejadian-kejadian yang menjadi alasan kita tidak bisa ini dan itu. Padahal jangan-jangan… memang keputusan kita untuk tidak menjadi ini dan itu, dan karena alasan itulah kita menciptakan sejuta excuses supaya tujuan kita untuk tidak ini dan itu itu berhasil.

πŸ“ Bingung kan? Ya namanya juga teori psikologi ya, harus bingungin dong! Gini deh, ala saya, contohnya:

πŸ“ Aetiology: saya pernah kecipratan minyak waktu saya lagi masak. Itulah mengapa sampai sekarang saya tidak berani masuk ke dapur, karena saya langsung sesak napas dan kejang-kejang ketika melihat wajan.

πŸ“ Teleology: Alesan aja lu! Yang sebenarnya adalah: lu emang nggak mau masak, maunya mesen Go-Food. Makanya lu menciptakan ketakutan itu di dalam pikiran dan begitu liat wajan langsung mules duluan karena pada dasarnya males mikirin abis masak harus nyuci piring plus nyuci wajan.

Demikianlah saudara-saudara… kesimpulan saya atas dua logy-logy di atas.

Kalau kamu, termasuk -logy yang mana?

#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day02

11 thoughts on “The Courage to Be Disliked – 1st Chapter: Deny Trauma (1)

  1. aku sekarang mengerti kenapa ga semua buku selfhelp cocok buatku. kayaknya aku emang dari dulu lebih setuju dgn Adlerian psikologi yang teleologi daripada Freud psikologi yang aetiolpgy

    btw tentang orang bisa berubah, ini tepatnya kita bisa mengubah diro kita sendiri kalau kita mau, tapi jangan harap orang lain berubah karena itu di luar kendali kita.

    jadi quote people don’t change masih valid dlm konteks don’t expect something that we don’t have any control over it.

    1. Waaaah.. aku tersanjung. Dalam kata lain postinganku ini membuatmu ngeh soal bedanya Adler dan Freud – dan aetiology vs teleology? *geer gpp ya kekekeke
      Terharu aku.. gak percuma maksakeun maca sambil puyeng2 nulis. Sampe nyari2 tahu soal pertemuan para dokter ini dan lain-lain ihihihi… seneng deh aku jadi belajar tapi juga pelajarannya bikin orang lain belajar πŸ˜€

      1. Hahaha, aku pas baca udah ngeh bedanya si aetiology dan teleology ini, tapi memang membaca ulang insight orang lain jadi berasa membaca ringkasan ulang.

        Buku ini udah kubaca tapi belom kutulis reviewnya, terlalu banyak yang ingin dituliskan soalnya hehehe.. mungkin harus dibaca ulang sambil nulis insight begini ya, hehehe

  2. Wkwkwkwk Deaaa, β€œYa namanya juga teori psikologi, ya harus bingungin dong..” , bisa aja. Wkwkwkwk.

    Aetiology, Teleology. Saya bisa keduanya, tergantung memutuskan problema apa dulu ehehe.

    Btw, baca kata β€œmaksakeunmaca”, ini mirip sama Risna ya program yang sedang β€˜digeluti’ Dea. πŸ™‚

    1. Iya Uril… ada satu gerakan (cieh gerakaaan..) ibu2 teman di KLIP yang bikin group baca buku sama-sama. Trus tiap hari laporan di WAG insight buku yang dibaca apa. Tujuannya biar semangat menyelesaikan buku2 yang udah berdebu di pojok ruangan karena nggak pernah disentuh. Ikutan yuk πŸ˜‰

  3. Ck ck, jadi ikut belajar psikologi. Tapi memang keadaan terjadi karena manusia yang memilih demikian, bukan karena sebuah kejadian. Jadi sebenarnya manusia bisa memilih bersikap (ini teori yang mana ya)

  4. Baca review Teh Dea aja aku udah ikut mikir. Gimana baca bukunya langsung? Kayaknya langsung kututup di halaman pertama πŸ˜†.

    Anyway, contoh beda aetiology dan teleology-nya jelas dan ibu2 banget πŸ˜…. Satunya bertitik tekan ke masa lalu, satunya ke masa depan. Aku idem sama teh Uril, sesuai konteks #cariaman 😁.

  5. Haha njelimet sekali ya per-psikologi-an ini tehh.. >.< Istilah-istilahnya baru tauu.. Kayaknya aku banyakan Teleology deh, alias cari-cari alesan yang mendukung keputusan.. hehe.. :p

  6. Dea, aku baca 3 kali baru agak paham . Agak lho ya, jadi aku masih banyak yang ngga ngerti.

    Baru agak ngerti pas baca contoh dari Dea haha.
    Tapi ngga tahu aku masuk logy yang mana

  7. Aku bacanya sampe 3 kali tetep baru paham dikit aja. Untung kelompon ngobrol eh gosip aku topik bahasannya enteng. Coba ikutan kumpulan psycoanalis ini kan mana ngomongin gosip sambil makan cireng. Eh tapi gosip kadang – kadang juga lebih rumit dari yang bukan gosip. Lha komennya nggak nyambung. Bentar aku baca lagi dulu sampai 6 kali mungkin baru ngerti. Heu.

  8. Wah…seru ya pembahasanya dan blognya juga keren loh. Saya juga suka bahasan psikologi. Apakah mba Dea dari jurusan psikologi? Oya kenalin saya Dian Anggota KLIP baru, baru aja gabung di tahun ini. Btw untuk gabung di wag membaca Gimana caranya ya?

Leave a Reply to May Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *