Posted in Fiction, History, My Thoughts

Aarde der Mensen (2)

Hallo Tukang Baca!

Kembali lagi ke buku Aarde der Mensen alias Bumi Manusia terjemahan Bahasa Belanda. Di dalam tulisan bagian ke dua ini, saya mau membagikan insight lanjutan dari bagian pertama yang ditulis dua minggu lalu.

Seperti sudah saya bagikan sebelumnya, buku ini bercerita tentang Minke, seorang pemuda Jawa keturunan ningrat yang mendapatkan kesempatan untuk duduk di bangku sekolah menengah atas (H. B. S.) pada akhir abad ke – 19. Karena waktu itu Indonesia masih ada di bawah kolonialisme Belanda, hanya sejumlah kecil orang saja yang boleh bersekolah. Jadi bisa sekolah sampai tingkatan SMA itu sudah luar biasa!

Hanya orang-orang yang punya latar belakang bangsawan, yang orangtuanya bekerja di bawah pemerintahan Belanda yang bisa bersekolah. Orang pribumi biasa tidak punya akses untuk menikmati pendidikan. Apalagi yang namanya perempuan. Untuk bersekolah sampai di tingkat sekolah dasar saja tidak bisa. Dan sewaktu mereka beranjak remaja, mereka harus dipingit di rumah.

Perempuan (khususnya perempuan Jawa di dalam buku ini) hanya punya tempat di dapur saja, di belakang rumah. Setelah mereka dipingit (di masa mereka menunggu dijodohkan), pergi ke bagian depan rumah saja tidak boleh.

Perempuan yang mau belajar

Sepembacaan saya, buku ini lebih banyak bercerita tentang Njai Ontosoroh dibanding tentang Annelies, anak perempuan Njai Ontosoroh yang adalah kekasih dan kemudian menjadi istri Minke. Meskipun Minke mengagumi kecantikan Annelies dan kemampuannya untuk mengurus usaha di bawah pengajaran ibunya, tetapi d dalam lembar-lembar halaman buku ini jelas tersirat (atau tersurat ya?) kekaguman Minke pada Njai Ontosoroh!

Di jaman yang mengijinkan pembelengguan perempuan baik oleh bangsa Belanda maupun kaum Jawa sendiri, Minke tidak habis pikir bagaimana mungkin Njai Ontosoroh yang hanyalah istri simpanan bisa memiliki kemampuan baca tulis, mengurus perusahaan, pengetahuan filsafat dan politik, dan lain sebagainya.

Bahkan Minke menganggap Njai Ontosoroh lebih maju pemikirannya dan lebih luas pengetahuannya dibandingkan para guru sekolahnya yang adalah orang-orang Belanda! Di dalam hatinya, Minke menangkat Njai yang kemudian dia panggil Mama sebagai guru, pengajar di dalam kehidupannya.

Di dalam buku ini dijelaskan kalau Njai Ontosoroh yang dulu dijual oleh ayahnya untuk menjadi istri simpanan Meneer Mellema adalah seseorang yang mau belajar, dan suka belajar. Rasa pahit yang dimilikinya karena ‘dibuang’ oleh orangtua membuat dia memiliki dorongan besar untuk mengubah hidupnya. Dia sadar, dia harus punya kemampuan, harus punya sesuatu untuk membela dirinya di masa depan.

‘Untung’nya, tuan besar Herman Mellema adalah orang yang baik dan sangat bersemangat mengajari istrinya. Dia mengajari Njai membaca dan menulis, berhitung, menyuruhnya membaca buku dan koran. Dia juga mengajarkan tata busana, cara berperilaku. Meneer Mellema juga mengajari Njai dan mengajak dia berbisnis bersama. Seorang perempuan yang tadinya bahkan ke teras rumah saja tidak layak, dipercaya untuk menjadi rekan yang setara dengan seorang pria Belanda.

Njai Ontosoroh tidak melewatkan kesempatan ini dan menggunakan setiap waktunya untuk belajar dan mengembangkan diri. Dulu dia dibeli oleh Meneer Mellema seharga 25 gulden. Dan setelah dia bersama Meneer Mellema mengembangkan peternakan Boerderij Buitenzorg, Njai Ontosoroh mampu mengumpulkan investasi sampai bernilai 5000 gulden!

Keinginan Njai Ontosoroh untuk bisa mandiri, dan mempersiapkan masa depan dirinya dan anak-anaknya in case Meneer Mellema pulang ke Belanda untuk selamanya dan meninggalkan mereka, keinginannya untuk menghilangkan rasa tidak berdayanya sebagai perempuan yang tidak punya suara, membuat Njai Ontosoroh mau belajar dan terus belajar.

Membaca buku ini, saya menangkap rasa kekaguman Pramoedya kepada sosok R. A. Kartini, yang kalau dilihat dari timelinenya, mestinya seumuran dengan Njai Ontosoroh juga. Pramoedya menggambarkan bahwa tanpa pendidikan, tidak akan ada perkembangan.

Dan hal ini berlaku baik bagi dirinya dan kaumnya (laki-laki pribumi) yang bahkan dengan status bangsawan saja hanya dipandang sebelah mata oleh bangsa Belanda. Dan juga untuk kaum perempuan yang di masa itu hanya berharga setengah (atau kurang) dari laki-laki.

Apapun juga ceritanya, anak selalu menjadi korban

Perjalanan Njai Ontosoroh dimulai dari ambisi ayahnya yang sebenarnya sudah punya kedudukan ‘lumayan’ sebagai juru ketik di desa mereka. Ayah sang Njai merasa tidak cukup dengan posisinya dan mentargetkan diri untuk menjadi kasir di Pabrik Gula Tulangan di Sidoarjo.

Foto udara Pabrik Gula Tulangan di Jawa Timur. Pabrik di cerita fiksi ini ternyata memang ada. Foto diambil kemungkinan tahun 1948.
Suasana di pabrik gula di Hindia Belanda (Indonesia) sekitar tahun 1925.
Grup foto pegawai Pabrik Gula Cepiring di Semarang, foto diambil antara tahun 1870 – 1914. Inilah cita-cita ayah Njai Ontosoroh: menjadi one of these ‘important people’.

Untuk mencapai ambisinya, Ayah Njai rela menggunakan segala cara. Dari berdoa kepada Tuhan YME, sampai kepada segala dukun, dan akhirnya menjilat para penguasa Belanda. Cara terakhir yang dia ambil? Menjual putri satu-satunya, Sanikem aka Njai Ontosoroh.

Sanikem yang memang sangat cantik, disimpan sang ayah di rumah. Banyak yang melamar tetapi Sanikem sudah direncanakan untuk menjadi senjata pamungkas sehingga lamaran orang-orang itu ditolak ayahnya. Ketika Sanikem berusia 13 tahun, dia sudah dianggap sebagai perawan tua. Tidak lama kemudian, datang Tuan Besar (Meneer Mellema) ke rumah Sanikem, dan itulah kali pertama kalinya Sanikem boleh pergi ke bagian depan rumah setelah bertahun-tahun dipingit.

Kartinah, seorang perempuan muda yang menjadi Nyai dari László Szekely, seorang Hungaria yang bekerja di perkebunan di Hindia Belanda. Foto sekitar tahun 1930an.

Berbekal sebuah koper, Sanikem dibawa ke rumah Tuan Besar. Ayahnya mendapatkan uang sebesar 25 gulden dan janji tertulis kalau dia akan diberikan training dan jabatan administrasi di pabrik gula.

Sanikem ditinggalkan sendirian, tidak bisa membela dirinya, tidak bisa melawan, tidak bisa berbicara. Harus menyerahkan diri kepada seorang ‘raksasa’ berkulit putih dan berambut pirang.

Di lain cerita, ternyata Meneer Mellema juga memiliki anak dari pernikahan sebelumnya. Entah apa alasannya, Meneer Mellema menuduh istri pertamanya berselingkuh lalu meninggalkan istri dan anaknya (di Belanda?) tanpa status yang jelas. Beberapa lama kemudian Meneer Mellema mengambil Njai Ontosoroh sebagai istri dan dari pernikahan itu mereka memiliki dua anak: Robert dan Annelies.

Anak-anak ‘Indo’ (campuran Belanda dan Indonesia) di Surabaya. Foto diambil sekitar tahun 1910. Mungkin anak-anak ini adalah hasil pernikahan tuan Belanda dengan seorang Nyai. Mereka adalah golongan kelas 2, di bawah orang-orang Belanda totok (asli), tapi masih lebih tinggi derajatnya dibanding kaum pribumi.

Belasan tahun kemudian, di saat pernikahan Njai dan Meneer Hellema berjalan dengan indah dan harmonis, datanglah Maurits Mellema, seorang insinyur muda yang baru saja dikirimkan pemerintah Belanda ke Indonesia ke peternakan Buitenzorg. Ternyata Maurits adalah anak pertama dari Meneer Hellema!

Sekarang dia sudah dewasa dan berhasil, dan datang membawa dua misi: melakukan pekerjaannya sebagai insinyur, dan juga menghancurkan kehidupan ayahnya yang dinilai telah menghancurkan kehidupan dia dan ibunya. Karena Meneer Mellema tidak pernah menceraikan ibu Maurits secara resmi, mereka hidup di dalam ketidakpastian status dan menghadapi banyak kesulitan. Dengan perjuangan yang besar Maurits bisa menjadi orang yang berhasil dan sekarang waktunya untuk menuntut ‘pembayaran’ dari sang ayah.

Dengan kedatangan Maurits yang tiba-tiba, Meneer Mellema mengalami shock yang luar biasa. Di hari yang sama, Meneer Mellema berubah dari sosok seorang pengusaha yang berhasil, suami dan ayah yang hangat untuk istri dan anak-anaknya, menjadi seseorang yang linglung, mabuk-mabukan, dan akhirnya meninggal di rumah pelacuran.

Kehidupan Njai Ontosoroh yang stabil berubah 180 derajat. Secara perekonomian, Njai Ontosoroh bisa mempertahankan dirinya. Sudah beberapa tahun dia menjadi penanggungjawab perusahaan mereka, jadi uang bukan masalah. Tapi bagaimana dengan anak-anak?

Robert dan Annelies dalam seketika kehilangan ayah mereka, kehilangan kehangatan yang tadinya melindungi mereka. Robert berubah menjadi anak yang acuh, dan Annelies menjadi anak yang selalu ketakutan. Meskipun Annelies mampu untuk membantu ibunya di dalam menangani perusahaan keluarga, Annelies memiliki banyak trauma di dalam kehidupannya.

Pada akhirnya, apapun cerita yang dijalani oleh seorang ayah atau seorang ibu, ketika ada sesuatu yang buruk terjadi, anaklah yang menjadi korbannya. Sanikem menjadi korban ambisi ayahnya dan kepasifan ibunya. Maurits menjadi korban perpisahan ayah dan ibunya. Robert dan Annelies menjadi korban masa lalu ayahnya.

Anak-anak adalah manusia-manusia kecil yang belum bisa mempertahankan diri, belum bisa mengubah jalan hidupnya. Dia harus (for at least a few years) menjalani kehidupan yang keras, yang sebenarnya adalah sebuah akibat, sebuah resiko dan konsekuensi atas pilihan-pilihan yang tidak bijak dari orangtua mereka.

Pelajaran yang saya ambil

Melalui cerita di buku ini, saya menyadari betapa berhaganya kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Buat kita yang hidup di jaman ini, bersekolah itu sudah merupakan sesuatu yang wajar, sesuatu yang otomatis dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Tidak jarang malah kita mengeluh ketika harus belajar sesuatu.

Tidak terbayangkan bagaimana rasanya menjalani kehidupan sebagai perempuan dari masa 100 tahun yang lalu, disimpan di rumah dan tidak boleh menyampaikan pikiran. R. A. Kartini dan juga para pahlawan Proklamasi adalah bukti bahwa baik laki-laki maupun perempuan perlu dan harus mengalami sekolah supaya bisa mempertahankan harkat dan martabatnya, tidak diinjak secara semena-mena oleh orang lain.

Juga betapa sedihnya perjalanan kehidupan Njai Ontosoroh menyentuh saya. Ketidakberdayaan dan kemudian dendamnya kepada ayah dan ibunya, menggambarkan betapa sebenarnya ada banyak pergumulan di dalam hati seorang anak ketika ada sesuatu hal buruk terjadi.

Orangtua bercerai, orangtua sakit, orangtua pergi, orangtua berambisi – dan menganggap kalau anak-anak itu akan bisa menerima kenyataan dengan mudah. Padahal nyatanya buat mereka semua itu terasa sebagai neraka. Rasa aman mereka diambil dari mereka. Kehidupan mereka dihancurkan hanya dalam sebuah kejapan mata.

Recommended!

Buku ini recommended untuk dibaca. Ada banyak detail cerita tentang sejarah, juga pelajaran kehidupan yang bisa diambil melalui buku ini. Tapi sekali lagi, buat saya pribadi, keindahan buku ini justru ada di terjemahan Belandanya.

Saya berencana untuk meminjamkan buku ini kepada dosen Bahasa Belanda saya yang kebetulan adalah seorang sejarawan. Bagaiman dengan teman-teman, sudah pernah baca buku Bumi Manusia? Suka atau tidak membacanya?

Yuk share opininya di kolom komentar, dan sampai ketemu lagi di insight berikutnya.

NB: Semua foto diambil dari arsip Universitas Leiden.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *