Posted in Biography, Inspirational, My Thoughts

Schrijf Dat Maar Niet Op

Judul buku: Schrijf Dat Maar Niet Op (Don’t write that part)

Penulis: Irene Bakker, Heleen van den Hoven, dkk.

Tebal buku: 127 halaman.

Hallo Tukang Baca!

Setelah lebih dari satu bulan tidak ada postingan baru, hari ini saya kembali dengan sebuah buku antologi berjudul Schrijf Dat Maar Niet Op atau kalau di dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan ‘bagian itu nggak usah ditulis ya.’

Buku ini sebenarnya sudah saya mulai baca tahun lalu 😅 tapi baru sekarang saya selesaikan.

Buku ini adalah kumpulan kisah kehidupan perempuan-perempuan imigran yang tinggal di kota kediaman saya di Belanda. Tentang mengapa mereka meninggalkan tanah kelahiran mereka dan bagaimana mereka survive di lingkungan yang baru dan harapan mereka tentang hari esok.

Tidak semua punya cerita yang sama

Mungkin pikiran ini terdengar naif dan bloon, tapi sering sekali saya lupa kalau tidak semua manusia punya cerita yang sama. Sebagai seorang perantau yang tinggal di negara yang jauh dari keluarga, dengan iklim, culture yang jauh berbeda dengan tanah air – saya berpikir bahwa saya ‘sudah tahu semuanya.’

Asumsi saya ini hancur seketika ketika saya membaca buku ini. Kesulitan yang saya alami sebagai istri dan ibu di dalam keluarga pekerja expat, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan perjuangan para perempuan yang saya baca di dalam buku ini.

Beberapa cerita mereka begitu pahit dan menyedihkan, dan juga harus dirahasiakan karena bukan hanya bisa mempermalukan keluarga, tetapi juga bisa membahayakan bila didengar oleh kaum tertentu. Itulah mengapa lima orang perempuan Belanda yang melakukan wawancara kepada para perempuan ini dan bertugas menuliskan cerita mereka sering mendapatkan pesan ‘jangan tuliskan bagian yang itu.’

Beberapa perempuan di buku ini datang ke Belanda sebagai pengungsi, orang-orang yang lari dari negaranya karena ada ancaman bahaya perang. Tetapi juga ada beberapa perempuan yang datang untuk mengadu nasib, untuk meninggalkan kemiskinan di tanah kelahirannya.

Tidak semua punya cerita yang sama, tidak semua punya awal dan ending yang serupa, tapi ada benang merah yang mengaitkan cerita mereka semua: mereka semua adalah perempuan, dianggap sebagai kaum lemah dan seringkali tertindas dan terbatasi oleh norma dan budaya, tetapi juga tidak pernah berhenti untuk terus berjuang, terutama untuk anak-anak mereka.

Adela

Adela berasal dari Suriname dan dibesarkan oleh neneknya. Adela lahir sewaktu ibunya masih berusia 15 tahun. Ibu Adela satu-satunya anak yang tetap hidup dari total 14 anak yang dimiliki sang nenek. Ke-13 anak yang lain mati dibunuh oleh keluarga kakek Adela. Kakek Adela memiliki seorang ibu yang sangat cemburu terhadap menantunya – kalau kakeknya lebih memperhatikan istrinya, ibu dari kakek Adela akan mengamuk. Lalu mulai mencari cara untuk menyakiti menantunya, termasuk melalui sihir dan voodoo.

Karena kejahatan keluarga suaminya, akhirnya nenek Adela melarikan diri dan membawa anak serta cucunya. Mereka lari ke hutan di Frans Guyana. Mereka berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain selama lebih dari satu tahun. Melewati hutan, dan tinggal di gubuk-gubuk yang beratapkan daun kelapa.

Adela mulai bersekolah saat dia berusia 9 tahun. Untuk mencapai sekolahnya, dia harus berjalan kaki 5 kilometer jauhnya. Tetapi sayang dia tidak sempat lama bersekolah. Neneknya berpendapat bahwa sekolah tidak beguna untuk cucunya. Adela harus belajar bagaimana membantu di ladang dan bersiap untuk pernikahan.

Anak-anak di Suriname jauh lebih matang dan dewasa dibandingkan di daerah lain. Sejak mereka berumur 7 tahun, mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi orang dewasa. Anak-anak perempuan dan laki-laki harus membantu untuk mengerjakan tanah (berladang) dan tidak punya waktu untuk bermain. Mainan seperti boneka juga tidak ada, karena dianggap bisa diisi oleh roh-roh halus. Bahkan orang-orang waktu itu takut kepada kucing karena kucing pun dianggap jelmaan yang memiliki ilmu sihir!

Pernikahan di Suriname dilakukan dengan cara perjodohan dari orangtua. Mereka biasanya memilihkan suami untuk anak-anak perempuan mereka. Biasanya gadis-gadis ini menikah saat masih berusia belasan tahun, dan menjadi istri ketiga atau keempat dari suaminya. Waktu itu adalah hal yang umum untuk seorang laki-laki memiliki lima sampai delapan istri!

Adele hidup di dalam budaya yang sangat percaya roh-roh gaib. Mereka percaya kepada kekuatan dukun, voodoo, dan semacamnya. Ada orang-orang yang punya kekuatan roh yang bisa menyakiti orang lain, dan ada juga yang bisa menyembuhkan. Kekuatan ini diturunkan dari ibu kepada anak perempuan lalu kepada cucu perempuannya. Adela mengaku bahwa dia memiliki kekuatan ini, diturunkan dari neneknya.

Orang-orang Suriname banyak menggunakan ramuan tumbuh-tumbuhan, termasuk untuk menjaga kebersihan bagian intim wanita. Mereka wajib untuk melakukan spa untuk bagian intim wanita, setiap PAGI dan MALAM sejak anak perempuan berusia enam atau tujuh tahun. 😱 Laki-laki tidak akan ada yang mau menikahi perempuan yang tidak membersihkan bagian intimnya dengan uap air panas ini!

Waktu Adela berusia 19 tahun dia menikah dengan suaminya, dan diboyong suaminya pindah ke Belanda. Karena Suriname adalah salah satu negara koloni Belanda, Adele sudah tahu sedikit tentang Belanda, juga sudah bisa sedikit bahasa Belanda. Tetapi tetap saja, ternyata Belanda sangat berbeda dari yang dibayangkan Adela! Orang-orang Belanda tampak begitu putih dan besar sampai Adela merasa takut dimakan oleh mereka. Butuh waktu lebih dari 3 tahun untuk Adela mencerna dan menerima lingkungan yang baru ini.

Di Belanda Adela melahirkan 7 anak dan membesarkan mereka. Suaminya melakukan KDRT, berselingkuh dan akhirnya meninggalkan istri dan anak-anaknya. Adela bertahan selama belasan tahun karena dia tidak punya seorangpun untuk membelanya. Tidak ada teman, tidak ada keluarga. Dia baru bisa bebas dari situasi ini ketika akhirnya suaminya pergi.

Selama suaminya masih tinggal bersamanya, Adela bisa dibilang terkurung di dalam rumah. Dia tidak mengerti apapun tentang urusan surat-menyurat, bank, dan lain sebagainya. Dia juga tidak punya penghasilan. Dia tidak mengerti apapun tentang tinggal di Belanda meskipun sudah belasan tahun tinggal di sana.

Kepergian suaminya membuat Adela harus belajar semua dari awal. Dia harus mengeruk tempat sampah supermarket untuk mencari makanan bagi dirinya dan anak-anaknya. Juga mencari pakaian dari tempat sampah penduduk. Rumah mereka tidak ada lantainya, hanya beton saja (ini dingin banget kalau sedang musim dingin di Belanda). Meskipun akhirnya Adela menerima bantuan keuangan dari pemerintah, tapi uang ini harus dicukupkan untuk menghidupi delapan orang, PLUS membayar hutang suaminya yang berjumlah 25.000 gulden (setara 180 juta rupiah, eeek!).

Adela pun mencari pekerjaan dan bekerja menjadi tenaga pembersih dan mengambil shift siang dan malam. Anaknya yang paling tua membantunya menjaga adik-adiknya. Akhirnya setelah bertahun-tahun bekerja sangat keras, Adela bisa membayar semua hutang suaminya dan mulai bisa hidup normal.

Tetapi semua tekanan selama berpuluh tahun membuatnya hancur. Adela menjadi kegemukan – beratnya lebih dari 120 kilo dan dia harus memilih, mau hidup lebih sehat atau akhirnya sakit dan meninggalkan anak-anaknya. Adela punya memilih untuk memperbaiki kesehatannya, dia pergi ke terapi dan berusaha menurunkan berat badan.

Selalu ada keinginan untuk kembali ke Suriname, tapi Adela tahu di sana dia juga tidak punya masa depan. Sekarang dia berusaha menikmati hidupnya bersama anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa, dan juga menikmati hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Meskipun kehidupannya sangat keras, tapi Adela bersyukur dia bisa menjadi ibu, ayah, sahabat, dan penopang bagi anak-anaknya. Tentang masa depan? Kita lihat saja nanti…

Kekuatan perempuan dalam kelemahan mereka

Cerita Adela hanyalah satu dari belasan cerita yang ada di buku ini. Perempuan-perempuan sumber cerita ini datang dari negara-negara yang berbeda dan datang dengan alasan yang tidak sama. Tetapi hampir semua datang dari lingkungan dimana menurut norma dan budaya, perempuan adalah makhluk yang posisinya di bawah laki-laki.

Hampir semua datang dengan suami mereka untuk kemudian disakiti di dalam pernikahan, lalu ditinggalkan begitu saja bersama anak-anak mereka. Mereka ditinggalkan tanpa ada keahlian dan kemandirian finansial. Untunglah di kota kami (dan juga di kota-kota lain di Belanda), ada organisasi-organisasi yang memberikan support untuk para perempuan imigran dengan segala masalahnya.

Buku ini seperti menyuarakan itulah mengapa kita perlu memperhatikan dan memperjuangkan hak-hak perempuan untuk dilindungi dan dihormati. Meskipun pada akhirnya perempuan tidak bisa sama dan setara persis seperti laki-laki (karena memang laki-laki dan perempuan itu berbeda), tetapi praktek yang merendahkan, menyakiti dan melihat perempuan hanya sebagai objek seksualitas (seperti dalam tradisi spa untuk perempuan Suriname) saja harus dihapuskan.

Saya belajar banyak dari membaca buku ini. Bagaimana perempuan–perempuan yang kulitnya berwarna dan berpakaian berbeda di luar rumah mungkin punya cerita semacam ini. Bagaimana di balik senyuman mereka ada cerita-cerita yang tidak boleh terungkap, malu untuk diketahui orang. Bagaimana mereka mungkin sebenarnya sedang menderita dan membutuhkan perhatian.

Saya belajar bahwa persoalan yang saya alami sebagai perempuan ternyata dialami oleh orang lain juga, dan bahkan mereka mengalami kehidupan yang jauh lebih berat lagi. Saya diingatkan untuk memiliki empati, juga menjadi lebih peka terhadap orang-orang yang ada di sekitar saya.

Dan saya belajar bahwa di dalam segala kelemahan dan kekurangan mereka, Adela, perempuan di dalam buku ini dan semua perempuan, adalah makhluk yang kuat. Yang bisa bangkit dari situasi yang bahkan terlihat mustahil, dan mampu melakukan apapun yang dibutuhkan oleh anak-anak mereka.

Bagaimana dengan teman-teman, punya cerita yang menyentuh juga kah tentang perempuan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *