Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 1st Chapter: Deny Trauma (2)

No experience is in itself a cause of our succes of failure. We do not suffer from the shock of our experiences – the so-called trauma – but instead we make out of them whatever suits our purposes. we are not determined by our experiences, but the meaning we give them is self-determining.

Adler quoted in TCD, p.12

Tidak ada yang namanya ‘trauma’

Di dalam bagian ini, sang pengarang lewat si filosofer kembali mengkontraskan pemikiran Adler yang berkonsep teleology dengan Freud yang mengandalkan aetiology. Sekali lagi, sang filosofer mendebat Freud yang memiliki ide bahwa luka dan trauma yang dialami seseorang mengakibatkan ketidakbahagaian dalam kehidupan orang tersebut.

Hidup kita tidak ditentukan oleh pengalaman yang kita alami, tetapi oleh bagaimana kita mengartikan pengalaman tersebut.

Your life is not something that someone gives you, but something you choose yourself, and your are the one who decides how you live.

TCD, p.13

Dalam kasus yang dialami teman si pemuda – seorang pria yang mengurung diri karena (mungkin) punya trauma di masa kecilnya, sang filosofer menilai bahwa si pria itu menjadi seorang penyendiri bukan karena pengalamannya, tetapi karena memang memutuskan untuk mengurung diri. Tapi untuk apa? Bukankah itu tidak make sense? Ada seorang yang mengurung dirinya sendiri – bahkan si pria ini pun sangat ingin untuk bebas dari keadaannya yang sekarang?

Sang filosofer menebak bahwa mungkin dengan cara seperti itu si pria bisa mendapatkan apa yang dia inginkan: perhatian dari orangtuanya, orangtua yang merasa bersalah dan gagal (mungkin ini adalah hukuman si pria untuk orangtua yang menyakiti dia?). Atau dia tidak ingin menjadi pria biasa-biasa aja di luar sana, tanpa nama tanpa kesan. Dia memilih hidup susah dengan segala kecemasan asal dia ‘istimewa’.

✏ Errr, buat saya pribadi bagian ini harus dicerna. Kalau Adler menghilangkan trauma, bagaimana dengan orang-orang yang benar-benar mengalami kejahatan dan penganiayaan yang di luar kendali mereka? Perempuan yang diperkosa, anak-anak yang mengalami pelecehan seksual, dan lain-lain? Tidakkah ‘wajar’ bila hidup mereka hancur setelah mengalami pengalaman yang mengerikan seperti itu?

✏Tapi kemudian saya teringat dengan cerita-cerita inspirasional, tentang orang-orang yang survive dari pengalaman yang mengerikan tapi kemudian bisa menjalani hidup dengan baik bahkan menjadi seseorang yang menjadi kekuatan dan inspirasi bagi orang lain. Ada survivor Holocaust atau survivor perang yang mungkin berakhir di rumah sakit jiwa karena besarnya beban kejiwaan akibat trauma yang mereka alami. Tapi ada yang kemudian menjadi Viktor Frankl yang kemudian berkarya dan menolong orang lain keluar dari trauma mereka.

✏Atau cerita tentang orang-orang Amerika berkulit hitam, yang sering hidup di dalam kemiskinan dan lingkungan yang penuh dengan kriminalitas dan stigma dan rasisme yang membuat masa depan mereka hampir pasti suram. And yet, ada saja orang-orang dari lingkungan itu yang bisa mengeluarkan dirinya dari nasib yang sepertinya sudah ditentukan untuk menjadi anggota geng – dia bisa sekolah dan menjadi orang yang berhasil. Di dalam cerita seperti ini, apa yang membedakan kedua jenis orang tersebut?

Kemarahan bukanlah sebuah reaksi instan yang tidak bisa dikendalikan, tetapi produk yang diciptakan untuk mencapai sebuah tujuan

Pelajaran ini dilanjutkan dengan contoh kasus lainnya. Sang pemuda bercerita kalau hari sebelumnya, seorang pelayan secara tidak sengaja menumpahkan sesuatu di bajunya. Hal ini membuat dia sangat murka sampai dia berteriak-teriak memarahi pelayan itu. Padahal sebenarnya si pemuda ini bukan orang yang gampang marah. Alasannya dia semurka itu? Itu adalah baju yang paling bagus yang bisa dia beli.

✏ Pas baca ini, rasanya: gue banget nih! Biasanya saya bukan pemarah (ah masaaaaaak), tapi belakangan ini ada aja urusan yang bikin saya nyap-nyap.

Sang filosofer masih terus mengkoreksi konsep sebab – akibat ini dan merubahnya menjadi tujuan – alat:

You did not fly into a rage and then start shouting. It is solely that you got angry so that you could shout. In other words, in order to fulfil the goal of shouting, you created the emotion of anger. The goal of shouting came before anything else. This is to say, by shouting, you wanted to make the waiter submit to you and listen to what you had to say. As a means to do that, you fabricated the emotion of anger.

TCD p. 16

Ouch that hurts! Jadi kalau kita marah, sebenarnya bukan karena kita bereaksi terhadap ketidakadilan/kesalahan/ kedunguan seseorang, tapi sebenarnya kita sedang memfabrikasi kemarahan itu untuk mendapatkan tujuan kita? Misalnya karena mau ‘mengalahkan’ seseorang?

✏Hmmh, sejujurnya, belakangan ini, personally, I’m pondering about this issue. Apakah saya marah karena ingin membela ketidakadilan yang dialami oleh orang lain? Atau saya marah karena saya ingin membuktikan bahwa poin-poin yang saya berikan itu benar semua? Alias mau membuktikan kalau, hellow, saya ini lebih cerdas dari kamu? Truthfully, I’ve been wondering too. Jadi, Adler, mungkin teori kamu benar!

Emosi dan perasaan itu nyata dan wajar dialami oleh semua orang. Tapi manusia bukanlah makhluk yang tidak tidak bisa mengatasi perasaan. Dan kalau kita bisa tidak dikontrol oleh perasaan, kita juga bisa hidup tanpa dikontrol oleh masa lalu.

Bila memang manusia dikontrol oleh perasaan dan masa lalunya, hal itu berarti manusia bukanlah makhluk yang memiliki kehendak bebas (free will). Teori aetiology dari Freud dengan sebab-akibatnya memperlakukan manusia seperti mesin karena dianggap tidak mampu mengubah reaksi yang timbul atas masa lalunya.

It’s okay for you to be you, but it’s not fine to be ‘just as you are’

Percakapan di antara sang filosofer dan si pemuda berlanjut terus. Entah berapa kopi yang mereka minum malam itu, atau mungkin si pemuda memang datang setiap hari ke rumah si filosofer. Dalam bagian berikutnya terungkaplah bahwa si pemuda ini ternyata tidak puas dengan keadaanya sendiri. Dia ingin menjadi orang lain – katakanlah si Y – yang menurutnya memiliki personaliti yang jauh lebih positif dibandingkan dia. Dan si pemuda ini yakin, bahwa kalau dia jadi si Y, pastilah dia akan menjadi lebih bahagia.

I remember this feeling used to be something I often felt myself. I used to deal with insecurity, with the feelings that I was not pretty enough and not good enough, the feeling that I was just a strange, an odd girl who didn’t fit into many pictures.

The important thing is not what one is born with, but what use one makes of that equipment.

Adler, quoted in TCD, p. 26

Kita ingin menjadi orang lain karena kita sibuk melihat kekurangan kita. Harusnya yang kita lakukan adalah memikirkan bagaimana kita bisa menggunakan apa yang ada pada kita untuk kemajuan kita.

Do what you can, fokus pada apa yang kamu bisa dan kembangkan, dibandingkan berkubang di dalam rasa sedih dan frustrasi karena kita tidak begini dan tidak begitu.

In many aspects, this book tickles me. It surely has it’s ‘truth’, but I strongly believe that there’s a power beyond the power of self-determination to improve oneself. There’s a greater power than just the power to reframe and give meaning to some experiences in order not to be defeated by a painful trauma. And that’s the power of Jesus.

✏Saya sendiri merasa jauh lebih damai dan menerima diri saya apa adanya ketika mengetahui dan meyakini bahwa Tuhan mencintai saya dengan begitu besar. Ia menebus dosa saya, Ia menyelamatkan saya dari kuasa maut dengan mengorbankan Anak-Nya yang tunggal – cinta yang lebih besar dari itu tidak akan bisa saya dapatkan. Dan saya sudah lengkap, saya sudah diciptakan dengan sempurna sebagaimana saya ada, sehingga saya tidak perlu ingin menjadi orang lain lagi – keinginan yang sempat saya rasakan.

✏Tapi juga dengan kesadaran bahwa Tuhan sudah memberikan yang terbaik untuk saya, saya pun ingin membalas cinta-Nya dengan memberikan dan menjadi yang terbaik bagi kemuliaan nama-Nya. Termasuk di dalamnya memperbaiki sifat, karakter, dan kebiasaan yang masih kurang baik. I want to be changed, to be cleansed by the power of God, to be transformed to be more and more like Jesus.

I think that what makes the difference between basing our lives’ improvement on a self-help book and the Word of God. It’s like reading a half-truth book. It’s a true, but it’s not entirely truthful. This book is a good book, but I’m glad I’m reading this book with an inspecting mind. See you tomorrow!

#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day03

3 thoughts on “The Courage to Be Disliked – 1st Chapter: Deny Trauma (2)

  1. seperti semua buku selfhelp lainnya, isi buku ini hanya teori, bukan panduan hidup. memang harus dikombinasi dengan what we believe.

    so far sih a lot of things make sense for me, masalah praktik nya itu lain cerita ya wkwkwk…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *