Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 3rd Chapter: Discard Other People’s Tasks (3)

Hallo Tukang Baca! Kembali lagi di sini, di dalam usaha kita mengerti psikologi Adler dalam usahanya membantu kita menghadapi hidup. Kemarin kita banyak membahas soal separation of tasks alias pemisahan tugas. Artinya apa?

Pemisahan tugas adalah sikap untuk membedakan yang mana yang menjadi tugas kita dan yang mana menjadi tugas orang lain – dan tidak saling mencampuri. Kalau kita melakukan pemisahan ini, kata Adler, niscaya hubungan kita dengan orang lain akan lebih baik dan berkualitas. Nggak banyak gesekan yang tidak perlu – dan akhirnya bisa membuat kita bisa happily ever after kayak di cerita Cinderella.

Nah, tapi gimana dong, memisahkan tugas itu gimana. Misalnya saja: kita sudah tahu sebagai anak tugas kita belajar dan memilih sendiri universitas mana yang kita mau tuju. Tugas orangtua ya mendukung (dan membiayai kita, LOL). Tapi orangtua masih mau nimbrung pendapat menentukan jurusan, atau bahkan di mana kita harus bekerja.

Continue reading “The Courage to Be Disliked – 3rd Chapter: Discard Other People’s Tasks (3)”
Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 3rd Chapter: Discard Other People’s Tasks (2)

Hallo semua. Kita sampai di bagian kedua dari Bab Tiga. Kesimpuan pelajaran kemarin adalah: supaya hidup tidak ribet, kita harus belajar yang namanya separation of tasks. Kerjakan tugas masing-masing di dalam memajukan hidup masing-masing. Jadi misalnya si anak tugasnya belajar, ya orangtua tidak perlu terlalu stress berusaha mencampuri supaya anak belajar.

Atau bila seorang psikolog memiliki pasien, tugas si psikolog adalah memberikan terapi dan nasihat yang baik. Tapi adalah tugas si pasien untuk berubah dan keluar dari permasalahannya. Alasannya?

You are the only one who can change yourself.

TCD, p. 124

Membuang tugas orang lain

Bukan psikologi Adler kalau nggak lugas, tegas, dan agak kejam. Dipikir-pikir cara pikirnya mirip orang Belanda ya nggak suka banyak cang cing cong. Sang filosofer memberikan contoh-contoh lain dalam perihal memisahkan tugas ini.

Continue reading “The Courage to Be Disliked – 3rd Chapter: Discard Other People’s Tasks (2)”
Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 3rd Chapter: Discard Other People’s Tasks (1)

Hi semua Tukang Baca ! Yang berhasil membaca sampai sini – saya ucapkan: Anda layak mendapatkan bintang! Pembahasan teori psikologi Adler ini sungguh muter-muter tapi ya janjinya adalah meskipun berliku-liku tapi sampai jua.

Pelajaran kemarin adalah tentang tugas kehidupan alias life task. Agar bisa mencapai tujuan dalam perilaku manusia yaitu: hidup mandiri dan memiliki hubungan yang harmonis dengan sesama, seseorang harus melakukan yang namanya life task. Life task itu bukan berarti dia harus nyapu, nyuci, gosok – bukan, itu namanya MyTask (karena saya ibu rumah tangga, hihi). Life task di sini artinya tugas kita untuk menjalin relasi dengan orang lain. Dalam hal ini ada tiga kategori: di dunia kerja, di dalam dunia pertemanan, dan dalam hubungan cinta (baik hubungan suami istri maupun hubungan orangtua dan anak).

Nah! Karena Adler punya teori bahwasanya semua masalah yang ada di dunia ini berasal dari masalah relasi antara manusia – itulah mengapa beliau menekankan, bahwa semua orang harus berani! Berani! Berani! Di dalam menjalani tiga macam hubungan ini (work, friendship, and love). Orang-orang yang tidak punya keberanian akhirnya menghindar dan menjadi orang-orang yang ‘bermasalah’.

Continue reading “The Courage to Be Disliked – 3rd Chapter: Discard Other People’s Tasks (1)”
Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (5)

Pelajaran kita kemarin adalah: adanya perasaan rendah diri (yang tidak sehat) membuat seseorang menjadi kompetitif. Dia melihat segala sesuatu sebagai pertandingan yang harus dimenangkan. Dia tidak bisa menikmati hidup dan melihat semua orang sebagai saingan.

Cara hidup seperti ini sangat mudah membawa kita kepada power struggle dengan orang lain, yang pada akhirnya bisa mengakibatkan masalah di dalam relasi kita dengan orang. Masih ingat? Adler bilang: akar semua permasalahan adalah masalah relasi antar manusia. 📝 Ini Adler yang bilang lho, saya kurang setuju sepenuhnya.

Orang yang selalu melihat orang lain sebagai saingan atau musuh, dan tidak mampu melihat sesama sebagai comrades alias kawan, orang ini sebenarnya hanya punya satu masalah: Mereka tidak punya keberanian, dan sedang lari dari ‘life task‘ alias ‘tugas kehidupan’.

Menghadapi tugas kehidupan

Adler menjelaskan adanya tujuan yang jelas dalam psikologi dan perilaku manusia. Ada dua tujuan di dalam perilaku manusia:

  1. Kemampuan untuk hidup mandiri
  2. Hidup harmonis dengan sesama
Continue reading “The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (5)”
Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (4)

Pelajaran kemarin adalah tentang perbedaan antara feeling of inferiority, inferiority complex dan superiority complex. Semua hal yang namanya mirip-mirip ini saling berhubungan dan bisa dibaca di sini.

Sang filosofer menjelaskan, kalau rasa rendah diri (feeling of inferiority) alias pandangan seseorang bahwa dirinya kurang di dalam suatu hal bisa menjadi pemacu seseorang untuk berkembang dan memperbaiki dirinya dari keadaannya yang kurang itu. Ini dimanakan pursuit of superiority.

Nah, keinginan berkembang ini bukanlah keinginan untuk menjadi superior dari orang lain. It won´t work that way. Kalau kita mau berkembang, yang ingin kita kalahkan adalah diri kita sendiri.

Hidup ini bukan kompetisi

hidup ini bukan kompetisi sehingga semua orang berlomba untuk mengalahkan orang lain. Hidup ini adalah tempat di mana semua orang boleh maju bersama-sama, masing-masing dengan tujuannya. Tidak ada kompetisi, tidak ada kebutuhan untuk membandingkan diri dengan orang lain.

A healthy feeling of inferiority is not something that comes from comparing oneself to others, but from one’s comparison with one’s ideal self.

TCD, p.71
Continue reading “The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (4)”
Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (3)

Pelajaran kemarin: perasaan rendah diri itu adalah penilaian subjektif kita terhadap diri kita sendiri. Kalau terlalu lama berkubang di dalam perasaan rendah diri dan lalu menggunakan perasaan ini untuk membenarkan diri untuk tidak melakukan sesuatu – itu namanya sudah masuk kedalam inferiority complex.

Orang sombong biasanya menderita perasaan rendah diri

Setiap orang pasti akan merasa rendah diri (menilai dirinya memiliki kekurangan) pada saat tertentu.

Bagaimana seseorang mengatasi pandangan yang rendah ini akan dirinya? Hal yang paling sehat untuk dilakukan ketika kita berpikir bahwa diri kita masih kurang dalam suatu hal adalah memperbaiki diri. Misalnya kita menjadi lebih rajin olahraga, sekolah lagi, bekerja keras, dan semacamnya.

Tetapi orang yang tidak mengambil langkah ini akan masuk ke dalam inferiority complex. Mereka memakai kekurangan mereka sebagai alasan untuk tidak bisa melakukan sesuatu. Dan untuk menutupi hal ini mereka menciptakan ‘superiority complex‘.

One can’t accept ‘one’s incapable self’. At this point, the person thinks of trying to compensate in some other fashion and looks for an easier out. They try to act as if they are superior, and to indulge in a fabricated feeling of superiority.

TCD, p.65
Continue reading “The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (3)”
Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (2)

Pelajaran yang lalu dari buku ini adalah akar dari semua permasalahan adalah masalah relasi interpersonal alias relasi dengan orang lain.

Sang filosofer meneruskan penjelasannya (penjelasannya memang muter-muter, tapi kita akan kembali ke point di atas meskipun tidak melalui jalan tol) mengenai hal ini dengan mengangkat isu ‘feeling of inferiority‘ alias perasaan rendah diri.

In Adler’s native German, the word (inferiority) is Minderwertigkeitsgefühl, which means a feeling (Gefühl) of having less (minder) worth (Wert). So, ‘feeling of inferiority is a term that has to do with one’s value judgement of oneself.

TCD, p. 54

Feeling of inferiority itu perasaan kamu sahaja!

Perasaan rendah diri alias perasaan minder sebenarnya adalah sebuah interpretasi subyektif yang dimiliki seseorang akan dirinya, dan bukanlah sebuah fakta objektif.

📝 Catatan: minder sebenarnya adalah kata yang sering digunakan secara kurang tepat. Minder itu artinya less atau lebih sedikit di dalam bahasa Belanda. Jadi harusnya kita tidak bilang saya minder, karena itu kalimat yang tidak lengkap. Saya sedikit, sedikit apa? Sedikit gemuk? Sedikit kurang beruntung? Hihihi, jadi harus ada kata sifat ya di belakang kata minder. Itu baru benar.)

Continue reading “The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (2)”
Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (1)

Di sepanjang buku ini, si pemuda digambarkan sebagai seseorang yang tidak menyukai dirinya sendiri. Kenapa ada orang yang tidak menyukai dirinya sendiri? Apa baiknya (baca: keuntungan yang bisa diambil) untuk seseorang untuk membenci dirinya sendiri?

📝 Membenci atau paling tidak tidak menyukai diri sendiri bukanlah hal tidak umum terjadi. Pada satu level tertentu, hampir semua orang pernah ada di dalam titik tidak menyukai dirinya sendiri. Baik tidak menyukai sesuatu yang sifatnya fisik maupun hal yang bersifat mental/spiritual.

📝 Manusia diberikan Tuhan nilai kebenaran dan juga suara hati nurani untuk memberikan sinyal bila seorang manusia memiliki kesalahan. Masalahnya adalah, standard yang dipakai seorang manusia itu untuk menilai dirinya kurang atau tidak kurang itu juga sudah tidak sempurna. Itulah mengapa kita sering sekali sibuk memikirkan kekurangan diri sendiri (dan kekurangan orang lain), padahal mungkin ya sebenarnya kita ini baik-baik saja.

Continue reading “The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (1)”
Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 1st Chapter: Deny Trauma (3)

Apakah kita bahagia atau tidak, menurut Adler adalah hasil dari keputusan kita dan bukan diakibatkan masa lalu atau keadaan kita. Dalam kasus si pemuda ini, sang filosofer menyimpulkan bahwa dia memutuskan untuk tidak bahagia. Sang pemuda tidak bahagia karena dia memutuskan untuk tidak bahagia, bukan karena dia tidak lahir dengan bintang pembawa keberuntungan.

Wah, memang ada ya orang yang memutuskan hidup tidak bahagia?

Setiap kali, setiap manusia memiliki alasan dan pembenaran masing-masing yang menjelaskan mengapa mereka melakukan sebuah hal. Semua orang melakukan sesuatu karena hal itu ‘baik’ baginya. Baik di sini tidak diartikan secara moral, tetapi disadur dari bahasa Yunani ‘agathon’ yang artinya: memberikan keuntungan.

Bahkan seorang kriminal melakukan sebuah kejahatan karena mungkin bagi dia saat itu, hal itu ‘baik’ alias menguntungkan. Hal ini menjelaskan mengapa seseorang bisa memutuskan untuk menjadi orang yang tidak bahagia. Karena hal itu somehow menguntungkan untuk dirinya.

Dan sama seperti being happy adalah sebuah keputusan, hidup dan perubahan juga adalah sebuah keputusan. Artinya? Hidup bisa berubah, seseorang bisa berubah, kita bisa berubah!

Continue reading “The Courage to Be Disliked – 1st Chapter: Deny Trauma (3)”
Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 1st Chapter: Deny Trauma (2)

No experience is in itself a cause of our succes of failure. We do not suffer from the shock of our experiences – the so-called trauma – but instead we make out of them whatever suits our purposes. we are not determined by our experiences, but the meaning we give them is self-determining.

Adler quoted in TCD, p.12

Tidak ada yang namanya ‘trauma’

Di dalam bagian ini, sang pengarang lewat si filosofer kembali mengkontraskan pemikiran Adler yang berkonsep teleology dengan Freud yang mengandalkan aetiology. Sekali lagi, sang filosofer mendebat Freud yang memiliki ide bahwa luka dan trauma yang dialami seseorang mengakibatkan ketidakbahagaian dalam kehidupan orang tersebut.

Hidup kita tidak ditentukan oleh pengalaman yang kita alami, tetapi oleh bagaimana kita mengartikan pengalaman tersebut.

Continue reading “The Courage to Be Disliked – 1st Chapter: Deny Trauma (2)”