Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 4th Chapter: Where The Centre of The World is? (3)

Hallo Tukang Baca, hari ini kita akan masuk ke bagian yang agak me-muyeng-kan 😅, yaitu di manakah hubungannya antara kita harus bisa memisahkan yang mana tugas kita dan yang mana tugas orang lain (separation of tasks) dengan memiliki hubungan yang harmonis dengan orang lain. Kemarin kita sudah masuk kepada perlunya perasaan bahwa kita adalah bagian dari komunitas, dan bahwa yang dimanakan komunitas itu bukanlah hanya terbatas pada sebuah perkumpulan yang kita rutin datangi seperti sekolah, kantor, dan lain-lain.

Komunitas itu adalah sesuatu yang infinite, tidak terbatas dan bersifat universal. Kita adalah bagian dari komunitas yang besar itu, yaitu bagian dari sebuah bangsa, bahkan bagian dari seluruh dunia. Kita adalah bagian dari komunitas universal mulai dari masa lalu, masa sekarang sampai masa depan.

Nah, bagaimana caranya supaya kita bisa menjadi menjalin hubungan dengan sesama manusia di dalam komunitas tersebut?

Jangan menghukum, jangan memuji

Psikologi Adler percaya pada konsep hubungan horisontal di mana semua manusia adalah sama derajatnya. Berangkat dari konsep ini, Adler menentang hubungan manusia sifatnya vertikal yang diungkapkan dalam tindakan memberi pujian dan hukuman (do not praise and rebuke).

Menurut Adler, pujian dan hukuman hanya diberikan oleh seseorang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang lain yang posisinya ada di bawahnya. Contohnya seorang anak yang melakukan sesuatu dan mendapat pujian dari orangtuanya. “Good job!” Puji orangtua kepada anak – pujian semacam ini adalah sebuah bentuk konfirmasi dari seseorang yang sudah menguasai sebuah pengetahuan kepada orang lain yang belum tahu apapun tentang hal itu.

Sang filosofer memberikan contoh lain: kita bisa memberikan pujian ‘good job!’ kepada anak-anak kita karena posisi kita ada ‘di atas’ mereka. Tetapi tidaklah wajar untuk memberikan pujian ‘good job’ kepada suami ketika dia membantu kita di dapur.

Ini membuktikan pujian dan teguran hanya diberikan di dalam sebuah hubungan yang sifatnya vertikal secara hirarti: antara atasan dan bawahan, antara orangtua dan anak. Dan pujian yang diberikan dalam hubungan seperti ini bukanlah sebuah hubungan yang tulus, tetapi manipulatif – karena pujian itu diberikan dengan suatu maksud tertentu di baliknya.

Misalnya orangtua memuji supaya anaknya berkelakuan dan berprestasi dengan baik. Begitu juga dengan hukuman atau teguran, diberikan untuk menge-set perilaku seseorang dan diberikan oleh orang yang punya hirarki lebih tinggi dari orang yang dihukum. Hubungan yang vertikal seperti ini mengakibatkan seseorang menjadi tergantung kepada pujian dari orang lain. Hubungan vertikal ini juga kemudian membuat seseorang merasa inferior atau superior.

Adler menentang hal ini dan menyatakan kalau hubungan manusia haruslah bersifat horisontal. Semua orang adalah setara, hanya saja memiliki peran dan tempat yang berbeda di dalam pekerjaan mereka. Menurut Adler, seorang manusia tidak bisa dinilai dari superoritas dia secara posisi atau ekonomi.

Bila hubungan manusia adalah setara (horisontal), tidak akan ada lagi perasaan rendah diri dan segala masalah yang timbul dari inferiority complex tersebut.

Pendekatan dengan memberikan dorongan (encouragement approach)

Efek negatif lain dari hubungan vertikal adalah adanya intervensi oleh seseorang kepada orang lainnya. Ketika kita tidak melakukan pemisahan tugas (separation of tasks), intervensi dapat terjadi. Misalnya belajar adalah tugas seorang anak, bukan tugas orangtuanya. Tapi sang orangtua berusaha mencampuri tugas anak dengan cara memaksa dia belajar atau menentukan jurusan apa yang harus diambil, atau karir apa yang harus dijalani dan lain-lain. Proses intervensi ini dapat terjadi di dalam hubungan yang vertikal; satu pihak merasa lebih superior, lebih tahu, lebih tinggi hirarkinya dari pihak lain.

Hubungan horisontal yang diusulkan oleh Adler menolak tindakan intervensi ini. Dibandingkan memuji atau menghukum di dalam mendidik seorang anak, orangtua dapat memberikan dorongan/semangat kepadanya. Memberikan dorongan (encouragement) dilakukan bukan sebagai seseorang yang kastanya lebih tinggi daripada si anak, tetapi sebagai orang yang setara.

When one is not following through with one’s tasks, it is not because one is without ability. Adlerian psychology tells us that the issue here is not one of ability, but simply that ‘one has lost the courage to face one’s tasks’. And, if that is the case, the thing to do before anything else is to recover that lost courage.

TCD, p. 185

Ketika seorang anak mengalami kesulitan di dalam belajar, hal itu bukanlah karena dia bodoh atau tidak punya kemampuan – melainkan karena si anak kehilangan keberanian untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Jadi, orangtua tidak perlu untuk memaksa anak belajar. Belajar adalah tugas si anak yang harus dia kerjakan sendiri. Yang bisa orangtua lakukan adalah memperlakukan si anak dengan cara yang tepat supaya si anak bisa memiliki keberanian untuk menyelesaikan studinya dan melakukan tugasnya sendiri.

Orangtua memberikan semangat, bukan memaksa. Hal ini seperti filosofi: ‘kita bisa membimbing seekor kuda ke sumber air, tapi kita tidak bisa memaksa dia minum’. Caranya bukanlah dengan memaksa, menghukum atau memuji. Tapi dengan cara memberikan kepercayaan diri kepada si anak (tanpa memuji).

Bagaimana cara mengetahui value dirimu

Ketika seseorang melakukan tugasnya dengan baik, kita bisa menyampaikan rasa terimakasih sebagai ganti pujian kepadanya. Ingat, menurut Adler pujian hanya diberikan oleh orang yang hirarkinya lebih tinggi kepada orang dengan hirarki lebih rendah. Tetapi rasa terimakasih disampaikan di dalam konteks hubungan horisontal: kita semua adalah sama.

“Saya senang,” atau “Kamu sudah sangat membantu,” adalah contoh kalimat yang bisa disampaikan. Ketika seseorang menerima rasa terimakasih dari orang lain, mereka merasa sudah memberi kontribusi kepada orang lain/komunitas. Hal ini membuat dia merasa ‘able‘ (mampu), dan itu memberikan dia keberanian untuk terus berkarya.

If one is able to feel one has worth, then one can accept oneself just as one is and have the courage to face one’s life tasks. It is when one is able to feel I am beneficial to the community that one can have a true sense of one’s worth. This is the answer that would be offered in Adlerian psychology.

TCD, p. 189

Yang ingin dicapai Adler dalam hubungan antara manusia adalah seseorang mampu memiliki perhatian kepada sesama, mampu membangun hubungan horisontal dengan orang lain dan bisa melakukan pendekatan dengan cara memberikan dorongan kepada orang lain. Semua hal ini akan menumbuhkan kesadaran ‘aku ini adalah orang yang berguna bagi sesama’, dan kesadaran ini akan berkembang menjadi sebuah keberanian untuk hidup.

📝 Bagaimana Tukang baca, masih sanggup mengikuti? Saya setuju dengan point terakhir dari bagian ini bahwa orang yang merasa dirinya berguna akan berani untuk hidup. Tapi saya kurang setuju dengan konsep jangan memuji, yang latar belakangnya seakan-akan memuji itu hanya dilakukan karena kita ingin mengambil keuntungan dari orang lain.

📝 Emang gak ada gitu pujian yang tulus? Misalnya teman saya membuat sesuatu, saya bisa memang bilang “Wah, bagus banget,” yang lalu sebenarnya dalam hati ingin dilanjutkan dengan kalimat “Buatin gue dong!” (sering banget nih denger kayak gini pas dulu suka jahit hehehe). Tapi saya juga bisa kan memuji tanpa maksud tersembunyi, menyatakan betapa karya seseorang itu bagus sekali. Misalnya memuji bahwa anak saya bisa menggambar dengan baik, gambarnya bagus, tanpa ada keinginan manipulatif bahwa kalau saya puji, dia akan tambah rajin menggambar?

📝 Di sini psikologi Adler juga digambarkan memiliki anggapan bahwa pujian hanya diberikan oleh orang yang statusnya lebih tinggi daripada yang menerima pujian. Misalnya seorang boss memberikan pujian kepada pekerjaan anak buahnya. Di sini pujian dilihat sebagai assessment atau judgement, sebuah karya itu bagus atau tidak, pemberi pujian adalah jurinya.

Kalau dilihat sekilas sih iya juga… tapi kita juga bisa kan masuk ke museum dan melihat lukisan Van Gough dan bilang “Wow, bagus banget!” Itu kan pujian juga! Atau hadir di konser seorang pianis terkenal dan menjadi terkesan sampai berlinang air mata saking terpesona. Lalu pas kita bisa ketemu dia, kita bilang “Kamu luar biasa!” Itu kan dilakukan oleh orang yang nggak bisa main piano kepada orang yang lebih jago – jadi nggak selalu dong ah pujian itu manipulatif dan diarahkan secara vertikal dari atas ke bawah.

Gimana menurut teman-teman? Agak kontroversial ya konsepnya. Tapi pantau terus deh, besok kita lanjut lagi ke bagian terakhir dari bab empat ini. See you tomorrow!

#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day15

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *