Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 3rd Chapter: Discard Other People’s Tasks (1)

Hi semua Tukang Baca ! Yang berhasil membaca sampai sini – saya ucapkan: Anda layak mendapatkan bintang! Pembahasan teori psikologi Adler ini sungguh muter-muter tapi ya janjinya adalah meskipun berliku-liku tapi sampai jua.

Pelajaran kemarin adalah tentang tugas kehidupan alias life task. Agar bisa mencapai tujuan dalam perilaku manusia yaitu: hidup mandiri dan memiliki hubungan yang harmonis dengan sesama, seseorang harus melakukan yang namanya life task. Life task itu bukan berarti dia harus nyapu, nyuci, gosok – bukan, itu namanya MyTask (karena saya ibu rumah tangga, hihi). Life task di sini artinya tugas kita untuk menjalin relasi dengan orang lain. Dalam hal ini ada tiga kategori: di dunia kerja, di dalam dunia pertemanan, dan dalam hubungan cinta (baik hubungan suami istri maupun hubungan orangtua dan anak).

Nah! Karena Adler punya teori bahwasanya semua masalah yang ada di dunia ini berasal dari masalah relasi antara manusia – itulah mengapa beliau menekankan, bahwa semua orang harus berani! Berani! Berani! Di dalam menjalani tiga macam hubungan ini (work, friendship, and love). Orang-orang yang tidak punya keberanian akhirnya menghindar dan menjadi orang-orang yang ‘bermasalah’.

Tolak hasrat untuk diakui

Untuk Tukang Baca yang lompat ke bab ini, sedikit latar belakang, buku ini ditulis dengan setting percakapan antara seorang pemuda dan seorang filosofer. Si pemuda ini digambarkan sebagai orang yang awkward dan ya gitulah, semuanya terasa salah. Karena dia merasa hidupnya galau, dia datang ke filosofer ini yang sebelumnya membuat klaim bahwa hidup itu simple.

Di dalam bab ketiga ini, sang filosofer hendak menerangkan apa itu yang dinamakan freedom alias kebebasan kepada si pemuda nan galau ini. Si pemuda mengusulkan, kalau yang namanya freedom itu adalah kalau kita punya uang. Kan enak bisa beli ini itu, nggak terikat sebuah keadaan yang membuat kita terbatas karena tidak bisa meng-afford sesuatu.

πŸ“ Terkadang saya pun berpikir begitu. Siapa yang nggak tergiur melihat iklan loterij (lotere) bernilai 24 juta Euro yang gencar ditayangkan di teve. Kebayangkan kan kalau punya uang segitu banyak, kayaknya apa saja bisa dibeli. Semua mudah didapat. Tapi lalu saya ingat nasehat Rhoma Irama kalau berjudi itu haram.πŸ˜… Jadi ya… lupakanlah.

Kembali ke si pemuda, meskipun konsep uang menjamin kebebasan itu menarik, diapun sadar bahwa uang tidak bisa menjamin kebahagiaan. Orang yang punya segalanya tapi tidak memiliki seseorang atau keluarga yang mencintai dia – apakah artinya? –> Naaa, di sini lah teori Adler itu ‘benar’: at the end, semua masalah itu datang dari masalah relasi antara manusia. Kalau ada orang yang punya segalanya tapi tidak punya relasi yang baik dengan sesamanya, bukankah akhirnya hidupnya hampa?

πŸ“ Di dalam prinsip saya, kalau seseorang punya segalanya, tapi tidak memiliki Tuhan? Itulah kehampaan yang sebenar-benarnya. Orang yang memiiliki Tuhan secara utuh otomatis memiliki hubungan yang baik dengan sesamanya (minimal diusahakan). Karena dia pasti striving untuk mencapai dua panggilan: Kasihilah Tuhan Allah-mu dengan segenap hatimu dan kasihilah sesama manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.

Balik lagi ke si pemuda, sang filosofer bertanya, apa sih kira-kira yang menjadi akar dari segala ketidakbahagiaan si pemuda ini. Si pemuda ini pun bercerita bahwa dia memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan kedua orangtuanya dan abangnya. Orangtua si pemuda ini sangat bangga terhadap si abang, dan di saat yang sama selalu terlihat kecewa dengan si pemuda.

Betapapun si pemuda berusaha untuk memenuhi ekspektasi orangtuanya (sekolah harus dimana, kerja harus dimana, dll) semua terasa kurang saja. Hal ini menghantui seluruh kehidupannya sehingga si pemuda merasa tidak bisa bahagia. Karena dia tidak bisa memenuhi segala harapan orangtuanya.

Nah! Kata sang filosofer. Di situlah letak masalahnya!

Adlerian psychology denies the need to seek recognition from others.

TCD, p. 113

Mengapa seseorang tidak bahagia? Karena dia senantiasa menginginkan ‘pengakuan’ dari orang-orang di dekatnya. Dan kata Bapak Adler, itu tidak diperlukan!

Jangan hidup untuk memuaskan keinginan orang lain

Bayangkan kalau kita punya kebiasaan untuk membereskan sampah yang ditinggalkan oleh orang lain begitu saja. Tapi ternyata tidak ada yang memperhatikan apa yang kita lakukan. Tidak ada yang memuji, tidak ada yang memberikan penghargaan – apakah kita bisa meneruskan kebiasaan ini?

Satu hal yang riskan dari prinsip reward and punishment (hadiah dan hukuman) adalah: bila saya baik dan orang lain melihat – saya mendapatkan hadiah/penghargaan. Berarti kalau sedang tidak ada orang, saya tidak perlu berlaku baik? Atau bila saya sudah berbuat baik dan tetap tidak dihargai – tidak ada gunanya saya melakukan hal itu?

Atau saya akan mendapatkan hukuman bila melakukan yang salah. Berarti kalau sedang tidak ada yang melihat, saya bebas dong untuk berbuat yang salah. Atau kalaupun ada yang melihat tapi saya tidak mendapatkan hukuman, saya bisa meneruskan perbuatan yang salah ini.

Kalau kita terus menginginkan pengakuan dari orang lain, itu adalah sebuah tanda bahwa kita ingin menyenangkan orang lain. Lama-lama, kita akan berusaha hidup untuk orang lain. Sesuai cita-cita, standar yang mereka punya. Kita hidup untuk dan ‘sebagai’ mereka, dan bukan sebagai diri kita sendiri.

πŸ“ Contoh dari saya: Misalnya ada seorang istri yang selalu striving, berjuang untuk menyenangkan hati suaminya. Kalau dilihat sekilas, tidak ada yang salah dari sikap seperti ini. Tapi lantas si suaminya ini ternyata tipe ekstrem – semua maunya harus dituruti. Si istri harus berambut panjang, padahal misalnya si istri lebih suka berambut pendek karena rambutnya mudah rontok. Si istri harus langsing dan menjaga badan, padahal misalnya si istri emang tukang lapar. Si istri mau pakai baju A, suami mengharuskan baju B. Dan sebagainya. At the end, si istri yang tadinya bernama sebut saja Bunga Triasari, tidak bisa lagi berkepribadian sebagai si Bunga Triasari. Sebaliknya dia menjelma menjadi seperti sosok Kumbang Mansori – itu adalah nama suaminya. Karena si istri ini hanya hidup menurut cara yang si Kumbang pilih dan sukai.

Hal lain yang berbahaya dari keinginan untuk menyenangkan orang lain adalah kita akan selalu hidup di dalam ketakutan. Si istri di contoh saya di atas akan selalu ketakutan karena tidak bisa memenuhi harapan suaminya. Dia takut bila dia tidak menuruti suaminya, dia akan terlihat sebagai istri yang pembangkang, dan egois. Padahal di dalam menjalani kehidupan tersebut, dia mematikan kepribadiannya sendiri.

Bagaimana caranya supaya kita tetap bisa menjadi diri kita sendiri, tidak perlu diperhamba oleh keinginan untuk senantiasa menyenangkan orang lain, tapi juga tetap bisa menjadi orang yang sosial dan tidak egois?

Do not behave without regard for others. To understand this, it is necessary to know about the idea in Adlerian psychology known as ‘separation of tasks’.

TCD, p. 118

πŸ“ I agree on the points that we can’t and mustn’t live to seek recognition from others and having the constant will to satisfy their expectation. The will to do what’s right should grow from the will to do the right thing, from the knowledge that it is good for us and for people (in general) and it’s right according to the will of God.

πŸ“ Although I’m not into the idea that we’re doing something to get something from God – for example we help people so we get blessings from Him, but in a way there’s indeed a sort of reward and punishment concept in the way we live as God’s children. We inevitably are going to have an eternal life after our mortal life end – either in hell or in heaven.

πŸ“ But the approach of the making the decisions of doing the right or the wrong things shouldn’t come from the fear of going to hell or the will to go to heaven. Oh, I won’t do this because I’m scared to go to hell. Or I’m going to do this because I’m sure it helps my way to go to heaven. No, it doesn’t work that way.

πŸ“ Hell or forever death is a consequence of our sinful life – a way of life we can’t escape from with our own effort. By nature, we are all going to that direction because we’re sinful and helpless to help ourselves. In contrary, going to Heaven is a given grace. It’s not a reward. It’s grace – it’s a gift that was given to us freely. Getting your salary is not grace. It’s a reward because you’ve been working well for one full month. But going to heaven doesn’t come because we’re living well and doing good things. It’s a pure grace, pure giving from God and it’s for everyone who is willing to receive that with thankful heart.

πŸ“ So yes, I’m not going to live to please someone else or to fulfil their expectations. I’m too ignorant and stubborn to do that. But I’m devoting my life to please God and to meet His expectations and His will in my life. Not because I want to have the reward to go to Heaven, but as my thankfulness because He has given me that amazing grace.

Cara memisahkan tugas

In general, all interpersonal relationship troubles are caused by intruding on other people’s tasks, or having one’s own tasks intruded on. Carrying out the separation of tasks is enough to change one’s interpersonal relationships dramatically.

TCD, p. 121

OK, ini bagian yang sulit bagi saya untuk dicerna, dipercaya dan dilakukan oleh saya, seorang emak-emak Asia. Contoh yang diberikan sang filosofer untuk memilah antara yang mana menjadi tugas kita dan yang mana merupakan tugas orang lain adalah contoh anak belajar.

Anak sekolah dan belajar itu adalah tugas anak. Adalah tugasnya juga untuk ingin belajar supaya tidak mendapatkan nilai buruk, bisa masuk ke sekolah favorit, punya masa depan yang baik dan lain-lain. Semua ini bukan tugas orangtua.

Tugas orangtuanya adalah memberitahukan informasi ini kepada sang anak bahwa hellow, nak, ini tugas kamu untuk belajar yang baik demi masa depanmu. Mama nggak mau maksa-maksa, lakukanlah menurut bijaksanamu. Tapi Mama selalu ada di sini untuk membantu kamu kalau dibutuhkan.

πŸ“ Nice, ideal and clean. Tapi menurut saya ya perlu dilakukan secara seimbang juga. Kalau anaknya masih kecil dan belum punya kesadaran belajar trus dilepas kayak gini (gak dipaksa sama sekali) keknya bakal bablas main Roblox mulu πŸ™ˆ. Misalnya aja soal musik, kalau anak-anak saya tidak diarahkan untuk latihan, wah bablas pasti kelupaan semua untuk latihan. Masalahnya, uang sekolah musiknya muahal euy. Kalau dibiarin ya bisa tiap minggu dia latihan lagu yang itu-itu saja bersama gurunya. Dan untuk itu saya tidak rela… hahhaa… Jadi ya memang hal ini harus dilakukan bersamaan. Diberi penjelasan senantiasa kalau adalah tugas dia untuk belajar, dan selama masih belum punya disiplin dan kesadaran ya ortunya bantu juga.

Anak ini suka dan bisa bermain piano. Tapi ya tetap saja butuh didorong. Kadang ngambek dan stress duluan kalau salah. Untung emaknya dikit-dikit ikutan belajar baca tauge jadi bisa ngajarin dia di level yang masih dasar-dasar gini.

Dengan konsep pemisahan tugas yang sama, sang filosofer memberikan contoh lain: seorang psikolog memiliki tugas memberikan terapi dan nasihat kepada kliennya. Tetapi apakah si klien mau berubah atau tidak, apakah dia mau menjalankan langkah-langkah yang bisa membawa dia kepada perubahan – itu semua adalah tugas dan keputusan si klien. Pemaksaan tugas atau intervensi tugas hanya akan membawa ketegangan di dalam relasi dua manusia.

Kesimpulannya: You are the only one who can change yourself.

Gimana nih para Tukang Baca, sampai sini udah mabok? πŸ˜΅β€πŸ’«

Hari ini kesimpulannya: pengakuan dari orang lain itu nice to have, tapi sama sekali tidak esensial. Karena kita hidup untuk diri kita sendiri dan bukan untuk menyenangkan hati orang di sekitar kita. Tapi supaya kita nggak menjadi orang-orang yang asosial, kita perlu untuk tetap mempertimbangkan keadaan orang lain. (Ini belum dibahas kenapa atau gimana begitu).

Nah, supaya hidup ini gak berat-berat amat, kita harus belajar untuk memisahkan tugas. Yang mana jadi tugas kita, yang mana tugas orang lain. Tugas kita adalah bergerak maju supaya kita sampai ke tujuan kita, tugas orang lain adalah bergerak maju supaya mereka pun sampai ke tujuannya. Kita perlu saling menjaga supaya tidak bertabrakan, tapi adalah tanggung jawab masing-masing untuk bergerak maju.

Udah gini dulu. Sampai besok lagi!

#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day10

5 thoughts on “The Courage to Be Disliked – 3rd Chapter: Discard Other People’s Tasks (1)

  1. Mau komen bagian: tugas kita adalah mengubah diri sendiri, menurutku bukan harus mengubah sih, tapi tugas kita adalah mengerjakan tugas kehidupan kita. Kalau ada hal-hal yang kita rasa menahan kita atau membuat kita berpikir bisa diperbaiki ya dilakukan.

    Jadi yang ga boleh itu membenarkan diri dalam selfpity misalnya: oh aku ga akan bisa jalan sehari 10ribu langkah karena aku sibuk. Itu namanya cari alasan! Atau jangan pernah bilang: oh dia bisa gitu karena ortunya kaya (itu namanya iri tanda tak mampu). Tugas kita adalah menerima diri kita dan kalau merasa ada yang perlu diperbaiki ya perbaiki. Jangan menyalahkan keadaan ataupun orang lain.

    Bottom line: hanya kita yang bisa mengubah diri kita, tapi jangan pernah berharap orang lain berubah.

    Kalau ada yg bertanya: apakah orang bisa berubah? Jawabnnya sih aku bisa mengubah diriku tapi aku ga bisa mengubah orang lain kalau dia ga mau. Ini tuh masih selaras dengan teori: ada hal yang bisa kita kendalikan ada juga hal yang di luar kendali kita, dan mengubah orang lain atau berharap orang lain berubah itu di luar kendali kita dan bukan tugas kita juga sih, hehehe…

    Aduh komennya jadi panjang, ada 300 kata ga ya buat setoran KLIP, hehhehe….

    1. Haha.. tambahin dikit lagi! Tulis jadi artikel terpisah πŸ˜€
      komentarmu membuatku mengedit bagian kesimpulanku. Tadi malam udah jam 12 sih nulisnya jadi pingin cepat2 *ngeles aja🀣

      tugas kita adalah bergerak maju kemana tujuan hidup kita – tugas orang lain adalah bergerak maju kemana tujuan hidupnya. Saling jaga supaya gak tabrakan boleh tapi apakah dia maju dan bagaimana persis caranya ya itu tanggung jawab masing2. Selama nggak nyenggol orang lain mah πŸ˜€

Leave a Reply to Risna Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *