Pelajaran kemarin: perasaan rendah diri itu adalah penilaian subjektif kita terhadap diri kita sendiri. Kalau terlalu lama berkubang di dalam perasaan rendah diri dan lalu menggunakan perasaan ini untuk membenarkan diri untuk tidak melakukan sesuatu – itu namanya sudah masuk kedalam inferiority complex.
Orang sombong biasanya menderita perasaan rendah diri
Setiap orang pasti akan merasa rendah diri (menilai dirinya memiliki kekurangan) pada saat tertentu.
Bagaimana seseorang mengatasi pandangan yang rendah ini akan dirinya? Hal yang paling sehat untuk dilakukan ketika kita berpikir bahwa diri kita masih kurang dalam suatu hal adalah memperbaiki diri. Misalnya kita menjadi lebih rajin olahraga, sekolah lagi, bekerja keras, dan semacamnya.
Tetapi orang yang tidak mengambil langkah ini akan masuk ke dalam inferiority complex. Mereka memakai kekurangan mereka sebagai alasan untuk tidak bisa melakukan sesuatu. Dan untuk menutupi hal ini mereka menciptakan ‘superiority complex‘.
One can’t accept ‘one’s incapable self’. At this point, the person thinks of trying to compensate in some other fashion and looks for an easier out. They try to act as if they are superior, and to indulge in a fabricated feeling of superiority.
TCD, p.65
Contoh superiority complex adalah orang-orang yang nempel sama orang-orang hebat supaya ikutan terlihat hebat, (yang membanggakan mungkin punya bapak/kakek/oom/pacar hebat). Contoh lain adalah orang yang bangga dengan masa lalunya yang sukses – mungkin sekarang sudah nggak sukses lagi, tapi dia terus terpaku pada kegemilangan masa lalu tersebut.
Contoh yang kasat mata adalah orang yang secara berlebihan menggunakan perhiasan/baju branded dan semacamnya. Hal ini biasanya bukanlah karena orang itu tidak punya rasa estetika tetapi mereka menyembunyikan rasa rendah dirinya di balik penampilan fisik yang gemerlap.
Contoh terakhir dari superiority complex yang terakhir adalah orang yang membanggakan kemalangannya. Orang-orang seperti ini bertahan di dalam keadaan mereka yang susah, sering mengangkat hal itu ke permukaan dan menjadikan hal itu sebagai pembenaran untuk tidak melakukan sesuatu.
By declaring how unfortunate they are and how much they have suffered, they are trying to worry the people around them (their family and friends, for example), and to restrict their speech and behaviour, and control them.
TCD, p.68
Contoh hal ini adalah teman si pemuda yang mengurung diri di kamarnya. Dia memutuskan diri untuk berkubang di dalam masalah/perasaannya dan memakai keadaannya yang buruk ini untuk mengambil keuntungan: memaksa keluarga dan lingkungannya untuk menerima keadaannya dan tidak mengusik dia.
In our culture, weakness can be quite strong and powerful. Inf fact, if we were to ask ourselves who is the strongest person in our culture, the logical answer would be the baby. The baby rules and cannot be dominated.
Adler quoted in TCD, p.68
Selama seseorang menggunakan ketidakberuntungannya untuk menjadi ‘spesial’, dia akan terus membutuhkan ketidakberuntungannya itu.
#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day07
2 thoughts on “The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (3)”