Hallo Tukang Baca! Kembali lagi di sini, di dalam usaha kita mengerti psikologi Adler dalam usahanya membantu kita menghadapi hidup. Kemarin kita banyak membahas soal separation of tasks alias pemisahan tugas. Artinya apa?
Pemisahan tugas adalah sikap untuk membedakan yang mana yang menjadi tugas kita dan yang mana menjadi tugas orang lain – dan tidak saling mencampuri. Kalau kita melakukan pemisahan ini, kata Adler, niscaya hubungan kita dengan orang lain akan lebih baik dan berkualitas. Nggak banyak gesekan yang tidak perlu – dan akhirnya bisa membuat kita bisa happily ever after kayak di cerita Cinderella.
Nah, tapi gimana dong, memisahkan tugas itu gimana. Misalnya saja: kita sudah tahu sebagai anak tugas kita belajar dan memilih sendiri universitas mana yang kita mau tuju. Tugas orangtua ya mendukung (dan membiayai kita, LOL). Tapi orangtua masih mau nimbrung pendapat menentukan jurusan, atau bahkan di mana kita harus bekerja.
Menurut Adler semua itu adalah intervension saudara-saudara. Bagaikan kehidupan alien yang selayaknya jangan menanamkan hidupnya ke dalam tubuh manusia – harus ada separation of tasks. Kalau tidak, bisa-bisa seseorang tidak menjalani kehidupannya sebagai diri sendiri dengan kepribadiannya yang unik, malahan dia hidup sebagai orang lain karena kehendak orang lain lah yang dia jalani.
Memutuskan simpul Gordian
Alkisah di dalam perjalanannya untuk menaklukan kerjaan Lidya di tanah Persia, Alexander Agung menemukan sebuah kereta perang dipajang di tengah kota. Kereta ini ditambatkan dengan sebuah simpul yang njelimet – dan konon, orang yang dapat menguraikan simpul ini dan melepaskan kereta ini akan menjadi penguasa Asia.
Menurut teman-teman, kira-kira Alexander akan melakukan apa? Buat kamu yang sama seperti saya sering berurusan dengan benang, pasti pernah dong harus mengurai benang kusut. Kalau benangnya murahan sih ya udahlah putusin aja. Tapi kalau benangnya benang rajut atau benang sulam yang mahal, plus kusutnya pas di tengah-tengah kerjaan, duh sayang banget kalau langsung digunting. Segala cara lah dipakai untuk mengurai benang tersebut.
Logikanya, Alexander Agung juga akan melakukan hal yang sama. Untuk menghormati tradisi dan juga memenuhi syarat untuk jadi ‘Penakluk Asia’, dia akan berusaha mengurai simpul Gordian ini – sama seperti banyak orang yang sudah mencobanya sebelum dia. Tapi Alexander ini nampaknya nggak mau terpaku dengan aturan. Dia simply ambil pedangnya dan memutuskan si simpul tali ini. Setelah itu dia membuat pernyataan:
Destiny is not something brought about by legend, but by clearing away with one’s own sword.
Alexander the Great, in TCD, p. 133
Sama seperti Alexander memutuskan Simpul Gordian dengan pedang, kita perlu melakukan pemisahan tugas dengan tegas. Nggak perlu terjebak dalam terlalu banyak tata krama, rasa segan, takut melanggar tradisi dan lain sebagainya. Yang jadi tugas kita ayo kita kerjakan, yang jadi tugas orang ayo tinggalkan. Termasuk di dalamnya perasaan tidak enak kalau orang marah karena kita bersikap demikian.
Kalaupun di dalam pemisahan tugas ini akhirnya hubungan kita dengan orang lain menjadi rusak atau putus, hubungan ini dapat dibangun kembali! Jangan kuatir, separation of tasks atau pemisahan tugas bukanlah tujuan akhir kita di dalam berelasi dengan orang lain. Hal ini cuma sebuah metode untuk membuat hubungan kita pada akhirnya berjalan lancar.
Coba bayangkan kalau teman-teman membaca sebuah buku dari jarak yang terlalu dekat. Malahan jadi tidak bisa terbaca kan tulisannya? Begitu juga dengan sebuah hubungan di antara dua manusia. Hubungan yang terlalu dekat (tidak ada pemisahan tugas) tidak akan berlangsung dengan baik. Di saat yang sama, hubungan yang terlalu jauh pun bukanlah hubungan yang baik. Memang yang paling benar yang dibilang penyanyi dangdut Vetty Vera: “yang sedang-sedang saja.” LOL 😁
Rasa takut untuk memisahkan tugas biasanya terjadi karena kita masih ingin menjaga perasaan orang lain. Kita masih mengejar ‘reward‘, misalnya disukai, menerima pengakuan atau persetujuan. Hal ini haruslah kita hilangkan. Kita tidak boleh mencari pengakuan, dan tidak boleh tergantung kepadanya. Sesungguhnya, hidup tanpa mencari pengakuan dari orang lain adalah bagian dari pemisahan tugas.
Rasa ingin diakui membatasi kita
Rasa untuk diakui, disetujui oleh orang lain dalam setiap tindakan kita adalah sebuah perasaan yang dialami manusia pada umumnya. Tapi kita tidak boleh terjebak di dalam keinginan ini. Sekilas, memang kita terlihat sebagai ‘orang baik’ bila kita hidup dengan cara yang disukai orang lain. Tapi kalau dilihat lebih dalam, sebenarnya kehidupan semacam ini bisa menjadi kehidupan yang palsu.
Katakanlah si A, dia hidup baik dan semua yang dia lakukan disukai oleh istrinya. A selalu berusaha setia dan menyenangkan istrinya di dalam setiap tindakannya. Dia tidak mau mengecewakan sang istri. Di sini si A ini masih terlihat OK, kan!
Tapi kalau A ini bersikap sama kepada sepuluh orang yang berbeda – pasti dong akan ada conflict of interest! Misalnya si A ingin menyenangkan istrinya, tapi di saat yang sama bersumpah setia untuk memenuhi semua permintaan ibunya. Belum lagi permintaan adiknya, adik ipar, tetangganya, rekan kerjanya, teman Facebooknya dan lain sebagainya! Bisa dipastikan sepuluh orang ini pasti memiliki harapan dan keinginan yang berbeda-beda untuk dipenuhi si A.
Lalu, apakah si A masih bisa tetap jadi orang yang punya intergritas? Tentu tidak. Dia akan mulai berbohong pada istrinya untuk menyenangkan ibunya, berbohong pada adiknya untuk menyenangkan tetangganya, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, Adler ingin mengatakan: selalu ingin menyenangkan orang lain dan mendapatkan pengakuan dari mereka tidak akan membawa kita kemanapun.
Jadi jangan merasa memisahkan tugas itu sebagai sesuatu yang egois. Jangan merasa jadi orang jahat kalau kita mau memilah yang mana menjadi tugas kita, yang mana menjadi bagian orang lain. Sebaliknya, kalau kita mencampuri hidup orang lain – misalnya seperti seorang orangtua yang menentukan anaknya harus sekolah dimana, menikah dengan siapa, dan lain sebagainya – itulah tindakan yang egois.
Bisa memisahkan tugas membuat hidup kita merdeka.
Kemerdekaan yang sesungguhnya
Semua orang pasti dong mau merdeka, mau bebas dari segala tekanan yang tidak perlu. Bisa memisahkan tugas, bisa melepaskan diri dari keingian untuk mendapatkan ponten A dari orang lain adalah sebuah kemerdekaan yang sesungguhnya.
Kita tidak ingin tidak disukai oleh orang lain – itu adalah keinginan alamiah semua orang. Tapi coba teman-teman bayangkan: ada sebuah batu yang menggelinding dari atas bukit menuju ke bawah. Batu ini akan bergulir ke kiri dan kanan mengikuti alur atau apapun benturan yang dia temui. Hidup mengikuti prinsip harus disukai orang lain adalah seperti batu yang bergulir ini. Kita akan hidup tertarik ke kiri dan ke kanan, tergantung pada arah yang ditentukan oleh keinginan orang lain untuk kita lakukan.
Tapi hidup bukanlah seperti batu. Kita adalah manusia yang memiliki daya untuk memilih dan menentukan. Kita bukan batu yang bila jatuh tidak bisa mengangkat dirinya sendiri dan menghentikan kejatuhannya. Justru sebagain manusia, kita mampu untuk memanjat tebing – melawan dan menghindari kejatuhan. Itulah sesungguhnya kemerdekaan: Kemampuan untuk menghentikan, dan memilih arah kehidupan.
Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk melawan, menghentikan hambatan dan mengarahkan hidupnya. Dan bukan ‘nrimo‘ saja kemana hidup ini membawa kita berjalan.
Tentu saja, untuk bisa ‘merdeka’ seperti ini (bisa menentukan sendiri arah hidup kita) ada harga yang harus kita bayar. Salah satunya adalah tidak disukai oleh orang lain. Untuk menjadi merdeka, kita tidak perlu takut bila orang lain tidak menyukai pilihan kita.
Bila ada orang yang tidak suka dengan pilihan kita? Itu adalah tugas mereka untuk mengatasi perasaan tersebut. BUkan tugas kita.
The courage to be happy also includes the courage to be disliked. When you have gained that courage, your interpersonal relationships will all at once change into things of lightness.
TCD, p.146
Kunci ada di tangan kita!
Sesungguhnya, kunci untuk mengatasi semua masalah relasi antar manusia itu ada di tangan saya, dan tangan teman-teman! Kita sering berpikir: oh, saya memiliki hubungan yang buruk dengan si A karena sikap si A itu begini, begitu, suka ini, suka itu. Tapi sebenarnya, bukan si A-lah yang menentukan bagaimana si hubungan itu berjalan. Tetapi kita sendiri!
Dalam teori teleology, adalah keputusan kita untuk membina hubungan seperti apa dengan seseorang. Kalau kita merasa tidak mampu berhubungan dengan seseorang karena dia (katakanlah) kasar, emosian, dan lain sebagainya; teleology akan merumuskan perasaan ini sebagai berikut: Saya memang tidak mau memperbaiki hubungan dengan si A. Karena itulah saya terus mengingat perlakuan dia yang kasar supaya saya tetap punya alasan untuk tidak menyukai dia.
Di dalam buku ini diceritakan sang filosofer memiliki hubungan yang tidak baik dengan ayahnya yang kasar dan suka memukul. Pada satu titik kehidupannya, sang filosofer memutuskan untuk tidak lagi berlindung pada excuse bahwa ayahnya kasar. Dia tidak ingin lagi memakai alasan: memiliki ayah yang kasar telah membuat kehidupannya hancur. Dia ingin mengubah hidupnya, dan mengubah hubungan dengan sang ayah! Caranya?
Caranya dia mengubah sikap dan pandangannya terhadap ayahnya. Ketika dia sudah memiliki keputusan tersebut, dia tidak lagi terus berpikir bagaimana sikap ayahnya kepadanya. Kunci untuk memperbaiki hubungan itu sudah ada di tangan si filosofer dan bukan di tangan ayahnya! Tidak perduli respon apakah yang akan diberikan ayahnya untuk usahanya ini: yang penting adalah resolusi dia untuk mengatasi masalah di antara mereka!
Di saat kita memutuskan untuk memperbaiki hubungan dengan seseorang, tidak ada jaminan apakah orang tersebut akan berubah sikapnya mengikuti sikap kita. Kita berubah bukan untuk dia berubah! Kita berubah untuk diri kita sendiri! Apa yang menjadi respon orang itu – itu adalah tugas dia, bukan tugas kita lagi. Yang penting kita mengubah tujuan kita tentang hubungan dengan orang tersebut.
Gimana teman-teman Tukang Baca, pembahasannya muter-muter tapi semoga nyampe juga ya! Sampai sini dulu catatan buku The Courage to Be Disliked Bab ke-tiga. Sampai ketemu di bab berikutnya!
📝 Catatan dari saya: saya masih merasa agugu dengan semua teorinya Adler. ADA benarnya, tapi ADA juga yang missing!
#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day12
ada yang missing, karena buku itu nggak membawa ke ajaran agama, dan karena kita terbiasa dengan Alkitab, aku bacanya sering sambil mikirin kalau Alkitab bilang apa ya soal ini.
So far sih nggak ada yang bertentangan sih, tapi ya kalau nggak ada ayatnya jadi kayak missing gitu. hehehe…