Hallo Tukang Baca! Gimana, masih bertahan mengikuti catatan buku ini? Teori Adler ini emang gampang-gampang susah ya. Ada banyak sebenarnya teorinya yang sudah kita terapkan dalam hidup kita. Tapi kita nggak pernah ngeh aja kalau semua itu ada namanya, hihihi.
Salah satunya adalah yang namanya Separation of Tasks alias pemisahan tugas. Pemisahan tugas ini artinya kira-kira seperti ini: yang menjadi tugas saya, saya kerjakan. Yang menjadi tugas anda ya kerjakan sendiri. Marilah kita saling mencampuri biar hidup ini bahagia. Pembahasannya ada di sini, di sini dan di sini.
Nah, gimana dong? Kalau kita menerapkan separation of tasks ini, jangan-jangan kita menjadi individualistis dan tidak mau care satu sama lain. Bab ke-empat ini adalah tempat di mana kita akan menemukan jawaban atas keraguan ini.
Psikologi individual dan holism
Teori psikologi Adler memiliki nama lain yaitu ‘psikologi individual’. Kata individual ini sendiri diambil dari kata: indivisible. Yang berarti: sebuah individu adalah sebuah unit yang paling kecil, yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Adler menentang teori yang mengatakan seorang individu itu terbagi-bagi antara fisik dan emosi, atau pikiran sadar terpisah dengan pikiran bawah sadar.
Buat Adler, semua itu adalah sebuah kesatuan yang utuh di dalam sebuah individu. Tidak dapat terbagi-bagi lagi! Jadi misalnya, kita tidak bisa mengatakan: “Aku tuh begitu karena emosiku mengendalikan aku!” Menurut Adler, emosi itu bukanlah sesuatu yang somehow berdiri sendiri secara independent di luar kita! Melainkan emosi, jiwa, tubuh dan lain sebagainya adalah sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan.
Jadi kalau misalnya ada seseorang yang marah lalu berteriak-teriak, itu adalah keputusan dia sendiri untuk berteriak dan menjerit. Teriakannya tidak dipicu/dikendalikan/didorong oleh emosinya! Pikiran bahwa: “aku tidak dapat mengendalikan emosiku atau emosiku membuat aku begini” adalah sebuah kebohongan.
Pandangan bahwa kehidupan seorang manusia adalah sesuatu yang utuh dan tidak dapat dibagi-bagi lagi disebut sebagai ‘holism‘.
Konsep psikologi individual dan pemisahan tugas memang kalau dilihat sepintas seakan merupakan sikap yang egois. Tapi sang filosofer lagi-lagi mengingatkan: pemisahan tugas bukanlah tujuan akhir di dalam hubungan antar manusia. Kita memisahkan tugas bukan supaya kita menjadi jauh dari orang lain – seakan-akan tidak mau berurusan dengan mereka. Pemisahan tugas ini malahan berfungsi untuk mengurai benang kusut di dalam relasi antar manusia.
Tujuan dari relasi antar manusia ialah rasa kebersamaan
Supaya separation of tasks ini tidak dilihat sebagai sikap yang egois dan individualistis, sang filosofer mengajak kita melihat kepada apa yang menjadi tujuan dari relasi antar manusia. Di bab pertama, sang filosofer menjelaskan bahwa hidup ini bukan kompetisi. Kita tidak perlu melihat orang lain sebagai lawan atau saingan yang harus kita kalahkan. Misalnya: aku harus menjadi lebih hebat dari dia, lebih cerdas dari dia, pendapatku harus dianggap sebagai pendapat yang benar, dan lain sebagainya. Teman-teman bisa membacanya di sini.
Sebaliknya, kita perlu memandang sesama sebagai comrades: kawan atau teman sekerja. Kalau kita melihat sesama sebagai kawan yang mengelilingi kita, hidup ini bisa kita lihat sebagai tempat yang aman. Kita memiliki keinginan untuk berbagi dengan kawan-kawan di dalam kehidupan kita, kita menjadi ingin berkontribusi kepada komunitas di sekitar kita. Perasaan inilah yang dinamakan: ‘community feeling’ atau yang saya terjemahkan menjadi rasa kebersamaan.
Community feeling yang dimaksudkan Adler ini bukan terbatas di dalam komunitas kecil saja, misalnya: lingkungan sekolah, lingkungan keluarga atau pekerjaan. Tetapi community feeling atau rasa kebersamaan yang dijadikan tujuan oleh Adler ini mencakup segala semesta: segala bangsa, bumi dan segala isinya, binatang, tumbuhan dan semua manusia. Bahkan termasuk di dalamnya masa lalu dan masa depan kita.
Rasa kebersamaan ini – menurut Adler – diartikan sebagai ‘social interest’, atau ‘interest in society’ atau bahasa Indonesianya: keperdulian kepada masyarakat. Society atau masyarakat ini sendiri dimulai dengan sebuah unit terkecil, yaitu hubungan antara dua manusia, alias: ‘aku dan kamu’.
Dari unit terkecil inilah kita bisa mulai mengubah pola pikir kita, yang tadinya kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kita mengubahnya menjadi perhatian kepada orang lain. (From attachment to self, changed to concern for others).
Mengapa kita hanya tertarik kepada diri sendiri?
Kalau teman-teman mendengar istilah self-centered person, kira-kira orang seperti apa yang teman-teman bayangkan? Kalau saya sih ya, yang langsung kepikiran adalah: kita ini semua orangnya somehow ya self-centered. Coba saja kalau kita lagi melihat-lihat foto. Kalau kita difoto bersama-sama orang lain, pasti yang akan kita teliti ya muka kita sendiri π Wajahku cakep nggak ya di sini?
Atau kalau misalnya saya berfoto sama suami – saya pastikan kalau wajah dia pun harus terlihat baik ekspresinya. Bukan supaya dia tidak dapat penilaian jelek dari orang yang melihat foto kami. Tapi ya supaya: 1. Saya bangga punya foto bersama dia yang cakep dan 2. Saya tidak malu punya suami yang keliatan nggak cakep. π
Nah, kalau kata Adler, orang yang selalu ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain itu sebenarnya adalah orang yang self-centered! Nah lo! Kesannya sih memang dia ingin menyenangkan orang lain dengan cara memenuhi keinginan mereka. Tapi sebenarnya, yang dia pikirkan adalah image dirinya sendiri di hadapan orang-orang itu.
Orang semacam ini akan senantiasa berpikir: “Apa ya yang dipikirkan si A, B, C tentang AKU?” Dan bila dia tidak mendapatkan respon yang baik (berupa persetujuan, pujian, dan semacamnya), dia akan merasa kecewa. Dan bila dilanjutkan akan mudah merasa terzalimi oleh orang lain. Lambat laun, orang ini akan merasa orang lain bukan sebagai comrade (kawan) lagi tapi sebagai musuh atau saingan.
Dengan pemikiran semacam itulah mengapa Adler mengatakan bahwa orang-orang yang terlalu tergantung dengan penilaian orang lain itu bersifat self-centered. Mereka terus berpikir: apa respon orang lain terhadap tindakan SAYA. Dan apa yang dapat dibuat orang lain untuk membuat SAYA merasa bahagia/merasa positif.
Orang semacam ini akan merasa bahwa dia adalah pusat dari segalanya. Padahal, seorang individu itu adalah bagian dari sebuah komunitas dan bukan pusat dari komunitas tersebut. Perasaan bahwa kita adalah bagian dari komunitas dan bukannya pusat adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh semua orang.
Kamu bukanlah pusat dunia
Kita semua adalah bagian dari sebuah komunitas. Adalah kebutuhan dasar manusia untuk memiliki sebuah tempat untuk ‘berlindung’ di dalam sebuah komunitas. Sebuah tempat di mana dia merasa ‘saya aman di sini’, di mana dia bisa berbagian di sana. Hal ini bisa berbentuk lembaga pernikahan, persahabatan, lingkungan sekolah dan lain sebagainya.
Seorang AKU, tidak perduli betapapun pentingnya orang itu, tidak akan pernah menjadi pusat dari sebuah komunitas melainkan hanya sebuah bagian saja. Orang yang merasa dirinya adalah pusat dunia akan dengan cepat kehilangan teman dan rekan sekerja.
Psikologi Adlerian percaya bahwa seseorang bisa merasa sebagai bagian dari suatu komunitas hanya dengan cara memberikan komitmen yang aktif di dalam komunitas tersebut. Berada di dalam komunitas (tapi nggak berdaya guna) tidak membuat kita menjadi bagian dari komunitas atau masyarakat.
Bagaimana caranya memberikan komitmen aktif? Caranya adalah melakukan tugas hidup kita (life tasks). Orang yang bertanggungjawab atas hidupnya sendiri, melangkah maju tanpa meninggalkan tugas untuk menjaga hubungan di dalam task of work, task of friendship dan task of love (lengkapnya apa saja tugas-tugas tersebut bisa dibaca di sini).
Melakukan tugas kehidupan ini tanpa menunggu orang lain untuk melakukannya untuk kita adalah komitmen terhadap sebuah komunitas. Seseorang harus bisa berpikir, “Apa yang bisa aku lakukan untuk orang ini?” dibandingkan pikiran “Apa yang bisa diberikan orang itu untukku?”
Hanya dengan cara seperti itulah kita bisa menjadi bagian dari sebuah komunitas. Hal itu bisa dicapai dengan usaha kita, dan bukan karena hak yang kita dapatkan karena kita lahir di sana.
Bingung yah, teman-teman? Hang on there dan jangan lewatkan pembahasan berikutnya ya!
#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day13