Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (5)

Pelajaran kita kemarin adalah: adanya perasaan rendah diri (yang tidak sehat) membuat seseorang menjadi kompetitif. Dia melihat segala sesuatu sebagai pertandingan yang harus dimenangkan. Dia tidak bisa menikmati hidup dan melihat semua orang sebagai saingan.

Cara hidup seperti ini sangat mudah membawa kita kepada power struggle dengan orang lain, yang pada akhirnya bisa mengakibatkan masalah di dalam relasi kita dengan orang. Masih ingat? Adler bilang: akar semua permasalahan adalah masalah relasi antar manusia. πŸ“ Ini Adler yang bilang lho, saya kurang setuju sepenuhnya.

Orang yang selalu melihat orang lain sebagai saingan atau musuh, dan tidak mampu melihat sesama sebagai comrades alias kawan, orang ini sebenarnya hanya punya satu masalah: Mereka tidak punya keberanian, dan sedang lari dari ‘life task‘ alias ‘tugas kehidupan’.

Menghadapi tugas kehidupan

Adler menjelaskan adanya tujuan yang jelas dalam psikologi dan perilaku manusia. Ada dua tujuan di dalam perilaku manusia:

  1. Kemampuan untuk hidup mandiri
  2. Hidup harmonis dengan sesama

Dua tujuan psikologi yang dapat mendukung perilaku ini adalah:

  1. Kesadaran bahwa ‘saya mampu’
  2. Kesadaran bahwa ‘orang lain adalah teman sekawan (comrades)’

Keempat tujuan di atas bisa dicapai, bila kita mau menghadapi dan menjalani yang dinamakan life task atau tugas kehidupan.

Tugas kehidupan ini bukanlah tugas dalam arti kewajiban untuk bekerja/sekolah dan semacamnya. Adler selalu menekankan tentang relasi antar manusia, jadi tugas kehidupan ini berkaitan dengan relasi di antara kita dengan sesama kita.

Sewaktu kita bayi, kita bergantung sepenuhnya kepada orangtua kita. Tetapi seiring berjalannya waktu, kita harus belajar untuk hidup mandiri. Baik mandiri secara mental, dan juga di dalam kehidupan sosial. Kita juga harus bekerja – menafkahi diri sendiri.

Di dalam perjalanan seseorang menjadi mandiri ini, kita membangun relasi antar manusia yang semakin lama semakin luas. Adler membuat tiga kategori dalam relasi antar manusia:

  • task of work (tugas pekerjaan)
  • task of friendship (tugas pertemanan)
  • task of love (tugas percintaan)

Ketiga kategori inilah yang dinamakan tugas kehidupan (life task).

Meskipun kategori ini disebutkan sebagai ‘tugas’, ini tidak ada kaitannya dengan kewajiban seseorang misalnya untuk bekerja atau membayar pajak. Semua ‘tugas’ ini murni mengenai relasi antar manusia yang memiliki jarak dan kedalaman berbeda-beda.

Task of work misalnya, adalah hubungan kita dengan rekan sekerja kita. Manusia tidak dapat bekerja sendiri saja, kita pasti membutuhkan orang lain untuk bekerja sama dengan kita. Karena itu task of work – relasi antara kita dengan teman sekerja menjadi sesuatu yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Tapi hubungan ini dilihat dari jarak dan kedalamannya tidaklah terlalu penting. Sehingga bisa dibilang, task of work memiliki kemungkinan konflik yang relatif rendah.

Dengan adanya satu tujuan yang sama di dalam dunia kerja yaitu: pekerjaan harus selesai, orang-orang relatif akan tetap bekerja sama, apapun perasaan mereka satu sama lain. Terkadang mereka tidak punya pilihan – saya cocok atau tidak dengan dia, saya harus mengerjakan ini.

Orang-orang yang menemui masalah di dalam kategori task of work ini, adalah orang-orang yang kemudian disebut sebagai NEETs. Yaitu anak-anak muda yang tidak meneruskan studi dan tidak memiliki pekerjaan. Pengangguran mungkin ya bahasa Indonesianya. Juga orang-orang yang mengurung diri – mereka bisa jadi termasuk di dalam orang yang menemui masalah di kategori task of work ini.

Jadi orang yang menganggur, (menurut buku ini) bukan menganggur karena mereka tidak mau mengerjakan pekerjaannya, tapi karena tidak berani menjalani relasi dengan orang-orang di tempat kerjanya. Misalnya saja mungkin mereka pernah melakukan kesalahan besar yang membuat perusahaan merugi. Lalu rasa malu yang dia alami ketika menerima konsekuensi dari perusahaan membuat dia tidak bisa menghadapi rekan-rekan sekerjanya. Lalu hal ini berkembang menjadi rasa takut untuk dihina, dikritik, atau diberi label oleh orang lain. Kesimpulannya, ujung-ujungnya yang membuat seseorang bisa takut untuk bekerja adalah karena ada masalah di dalam relasi antara dia dengan orang lain.

Benang merah dan rantai yang kuat

Kategori kedua dari life task atau tugas kehidupan adalah task of friendship. Di sini relasi antara dua orang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Tidak ada lagi kewajiban seperti di kewajiban di dalam dunia kerja. Yang ada adalah dua orang yang memutuskan untuk menjalin hubungan pertemanan.

Kategori ketiga adalah task of love. Task of love memiliki dua tahapan: love relationship (hubungan cinta) dan family relationship (hubungan keluarga). Dari antara ketiga jenis relasi ini: task of work, friendship and love – task of love adalah tugas yang paling berat dilakukan karena jarak dan kedalaman relasi sudah menjadi sangat dekat.

Bila hubungan antara suami istri diibaratkan Adler diikat oleh seutas benang merah, hubungan antara anak diibaratkan diikat oleh sebuah rantai yang kuat. Sepasang suami dan istri bisa saja memutuskan hubungan di antara mereka, tetapi hubungan anak dan orangtua tidak boleh mengikuti prinsip seperti ini.

Inilah mengapa task of love, dalam hal ini relasi antara orangtua dan anak menjadi relasi yang paling sulit. Karena apapun yang terjadi, sebelum memutuskan rantai yang begitu kuat, seseorang harus menghadapi dulu semua masalah yang dia temui di dalam relasinya dengan anak/orangtuanya.

Hal ini didasarkan pada sebuah konsep: manusia tidak dapat hidup sendirian. Jadi kesimpulannya, mau tidak mau, suka tidak suka, selama seseorang itu hidup, dia harus punya keberanian untuk menjalani tugas kehidupan ini. Yaitu melakukan tiga macam tugas di atas: task of work, task of friendship, dan task of love. Plus tidak lupa menjadi seorang yang mandiri – self reliant di dalam mengerjakan kehidupannya.

Jangan jatuh ke dalam pikiran-pikiran yang menipu

Membina relasi itu tidak mudah, tapi balik lagi – itu semua merupakan keputusan kita. Misalnya di dalam hal ini si pemuda digambarkan sebagai orang yang banyak ‘musuh’nya. Dia tidak suka A, B, dan seterusnya. Rasanya si A ini banyak aja kurangnya, sampai-sampai si pemuda ogah dan tidak enjoy menjalani relasi dengannya.

Sang filosofer berpendapat, di dalam kasus seperti ini, sebenarnya bukan si pemuda tidak suka dengan A lalu memutuskan untuk menjauhi dia. Yang terjadi adalah: si pemuda sudah membuat keputusan untuk tidak menjalin hubungan dengan si A. Karena itu dia mengarang alasan bahwa si A itu begini dan begitu, karena itu saya merasa tidak cocok dengannya.

Alasannya? Ya itu tadi. Si pemuda tidak berani, tidak punya I untuk melakukan task of work-nya, atau task of friendship-nya. Lalu dia membuat alasan supaya tidak perlu melakukan relasi itu.

One shifts one’s responsibility for the situation one is currently in to someone else. One is running away from one’s life tasks by saying that everything is the fault of other people, or the fault of environment.

TCD, p. 101

πŸ“ Gampangnya: saya susah nih berteman dengan si A. Mungkin karena saya simply pemalas, atau takut mengambil resiko disakiti dan lain-lain, jadi saya menggunakan alasan bahwa si A itu emang pemarah, makanya saya gak bisa menjadi teman dia. Masalahnya sebenarnya bukan ada di si A, tapi di saya. Sebuah task of friendship itu memang butuh effort, saya butuh keberanian (dan kemauan) untuk mengerjakan itu. It’s actually a kind of responsibility because I simply can not live alone in this world. And when I avoid that responsibility, that’s the moment I would use every reason I can find that this relationship won’t work due the fault of the other person.

Jadi di sinilah, menurut Adler dan si pengarang buku: semua orang butuh courage (hence the title of the book). Kita butuh keberanian untuk menjalani hidup, menjalani relasi dengan orang lain di dalam setiap kategori dan tahap yang berbeda.

Itulah mengapa sang filosofer menamakan psikologi Adler sebagai ‘psychology of courage’ alias psikologi keberanian. (Cieelah namanya, mengharukan).

Dengan ini selesailah malam kedua percakapan si pemuda dan si filosofer. Kalau mau lihat kelanjutannya, yuk baca postingan berikutnya!

#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day09

12 thoughts on “The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (5)

  1. Habis dari blog kak Risna, terus mampir ke sini. πŸ™‚

    Thanks untuk penjabaran lebih lengkapnya, Kak! Kayaknya baca di sini aja sudah cukup.

    Intinya, mau bagaimanapun kita ingin menjalani hidup, maka jalanilah dengan penuh keberanian, ya… 😁

  2. menarik bahasan soal courage ni ya..aku setuju soal ini.

    Kita butuh keberanian untuk menjalani hidup, menjalani relasi dengan orang lain di dalam setiap kategori dan tahap yang berbeda -> terimakasih sudah menuliskan ini Dea, aku kalau lagi males ketemu orang bakal ingat hal ini haha.

    1. Sama-sama May. Akupun sering lari saja dari masalah. Menariknya adalah dia bilang semua itu masalah relasi di antara manusia. Jadi kalau ada yang sampe misalnya malas kerja, itu bukan karena takut sama kerjaannya tapi menghindari manusianya… dipikir2 iya juga. Makanya harus berani aja sih menghadapi orang ya, termasuk yang kita kurang suka.

  3. Apa kita perlu bikin bedah buku ini ya. Aku pun suka banget buku ini. Terutama karena pendapat si pemuda yang mewakili kengeyelanku. Beneran buku yang bikin banyak mikir dan perdebatan. Belum lagi prakteknya. Ini buku untuk dibaca sepanjang tahun.

    1. Boleh aja mbak, tapi harus pada baca semua bukunya hehhe. Personally buat aku buku ini ada juga yang OFF sih teorinya. Tapi aku belum selesai bacanya jadi belum tahu apakah yang kupikirkan akan terjawab apa nggak 😁

  4. Hai Irene, I really really enjoy reading your The Courage to Be Disliked book review. Your thoughts are well structured. The details of the book content explanation. The way you choose the β€˜human’ words. Nggak berasa baca panjang dari atas sampai bawah hehe.

  5. Btw ada bagian yang aku pikir akan dijelaskan di tulisan ini:

    “Masih ingat? Adler bilang: akar semua permasalahan adalah masalah relasi antar manusia. πŸ“ Ini Adler yang bilang lho, saya kurang setuju sepenuhnya.”

    Nah, pertanyaanku: bagian mana yang kau ga setuju? Atau masih menunggu selesai dulu bacanya?

    1. Bagiku semua masalah antar relasi itu dimulai dari masalah manusia dengan Tuhan. Even kalau nggak lewat via relasi manusia dengan manusia, akar semua masalah adalah relasi manusia yang rusak dengan Tuhan. Sehingga segala konsep yang sebenarnya sudah dibuat untuk kehidupan manusia itu diinterpretasikan sangat bervariasi – dan ini yang akhirnya jadi benturan satu sama lain.

      Tapi ya tentu saja cara pikirku teology banget, but still I stand on that principle. Ada hal lain yang dibahas si pemuda soal TUhan tapi selalu tak dijawab oleh si filosofer. Aku mau lihat bab berikutnya karena ini berkaitan dengan: kalau kamu percaya yang kamu buat itu baik, ya lalukan aja tanpa perduli apa kata orang. Pernyataan ini ADA benarnya, tapi juga gak benar.

      Ini yang buat masalah dengan orang-orang yang misalnya contoh out of closet dll. Bagi dia itu nggak masalah, toh dia nggak ngerugiin orang. Tapi sebenarnya banyak yang dia rugikan. Intinya standard orang itu akan berbeda-beda banget kalau nggak ada kebeneran yang mutlak dan sejati yagn dijadikan acuan. Di situ buku ini emang nggak akan bisa mengisi kebolongan konsep courage to live your choice itu.

Leave a Reply to Irene Cynthia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *