Posted in Inspirational, My Thoughts

The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (4)

Pelajaran kemarin adalah tentang perbedaan antara feeling of inferiority, inferiority complex dan superiority complex. Semua hal yang namanya mirip-mirip ini saling berhubungan dan bisa dibaca di sini.

Sang filosofer menjelaskan, kalau rasa rendah diri (feeling of inferiority) alias pandangan seseorang bahwa dirinya kurang di dalam suatu hal bisa menjadi pemacu seseorang untuk berkembang dan memperbaiki dirinya dari keadaannya yang kurang itu. Ini dimanakan pursuit of superiority.

Nah, keinginan berkembang ini bukanlah keinginan untuk menjadi superior dari orang lain. It wonΒ΄t work that way. Kalau kita mau berkembang, yang ingin kita kalahkan adalah diri kita sendiri.

Hidup ini bukan kompetisi

hidup ini bukan kompetisi sehingga semua orang berlomba untuk mengalahkan orang lain. Hidup ini adalah tempat di mana semua orang boleh maju bersama-sama, masing-masing dengan tujuannya. Tidak ada kompetisi, tidak ada kebutuhan untuk membandingkan diri dengan orang lain.

A healthy feeling of inferiority is not something that comes from comparing oneself to others, but from one’s comparison with one’s ideal self.

TCD, p.71

Kemampuan dan kepintaran kita mungkin berbeda satu sama lain, tetapi itu tidak mengubah kenyataan kalau kita manusia setara satu sama lain secara nilai. Human beings are all equal, but not the same.

πŸ“ Saya ingat waktu saya belum lama mendapatkan SIM di Belanda, di mana mobil harus berjalan dengan cepat tapi semua mobil (diasumsikan) patuh pada setiap rambu dan aturan sehingga seharusnya tidak akan ada tabrakan. Waktu itu saya masih sangat grogi dan merasa butuh untuk terus melihat ke spion samping dan tengah. Melihat mobil-mobil lain apakah mereka terlalu dekat dengan saya.

πŸ“ Tapi saya sadar bahwa perjalanan saya tidak akan lancar kalau saya terus melihat kepada mobil di sekitar saya. Alih-alih menyetir dengan aman, saya bisa mengakibatkan kecelakaan kalau terus melirik ke samping dan belakang. Saya boleh melihat sekilas, tapi pandangan saya tetap harus lebih banyak ditujukan ke depan.

πŸ“ Kecuali saya sedang berada di sirkuit balapan F1, sebenarnya semua mobil yang lain bukanlah urusan saya. Semua punya satu tujuan yang setara: kami ingin sampai kepada tujuan kami. Semua butuh maju ke depan, tidak ada yang boleh tiba-tiba mundur atau berhenti mendadak di tengah jalan. Semua berjalan menuruti aturan, memberikan tanda bila ingin berbelok, dan lain sebagainya. Tapi kewajiban semua orang adalah menekan gas, dan maju.

πŸ“ Begitu juga dengan perjalanan hidup. Yang kita perlukan adalah membuat diri kita melangkah maju. Kita bekerja sama dengan mobil/orang yang lain supaya tidak bertabrakan, tetapi yang penting kita melangkah maju, setiap kali satu langkah lebih jauh dari posisi yang kita tempati sekarang.

Cuma kamu yang kuatir tentang penampilanmu

Sayangnya, banyak orang yang memandang hidup sebagai sebuah kompetisi. Begitu seseorang melihat hidup adalah ajang di mana manusia bisa menang atau kalah, orang itu akan terjerat di dalam masalah relasi dengan orang lain.

When one is conscious of competition and victory and defeat, it is inevitable that feelings of inferiority will arise. Because one is constantly comparing oneself to others and thinking, I beat that person or I lost to that person. Before one knows, he starts to see each and every person, everyone in the whole world as his enemy.

TCD, p. 75

Ketika seseorang melihat hidup sebagai sebuah kompetisi, dia akan terobsesi untuk menjadi pemenang. Dia akan mudah curiga dengan orang lain, selalu merasa orang lain sedang atau akan menyerang dia. Tidak akan ada rasa damai di dalam hidupnya. Orang yang membangun kesuksesannya menurut prinsip kompetisi dengan orang lain seperti ini biasanya tidak bahagia.

Orang yang selalu berkompetisi tidak akan bisa ikut bahagia dengan pencapaian orang lain, karena setiap orang lain merasakan suatu kebahagiaan, di situ dia merasakan sebuah kekalahan. Semua orang akan dianggap sebagai lawan – sebagai pihak yang harus dikalahkan.

Padahal, seharusnya kalau kita melihat orang lain sebagai pihak yang setara, kita bisa melihat mereka sebagai kawan (comrade) – yaitu seseorang yang akan mengulurkan tangan bila kita membutuhkan bantuan. Kalau kita bisa melihat orang lain sebagai comrade, dan bisa menjadi comrade bagi orang lain, dan tidak lagi melihat segala sesuatu sebagai kompetisi, kita akan memiliki cara pandang yang lebih indah tentang dunia.

Mulainya sih berkompetisi, lama-lama berantem lalu balas dendam

Orang yang selalu melihat hidup sebagai kompetisi, akan selalu memiliki keinginan untuk menang dari orang lain. Dan kalau dia di hadapkan pada manusia lain yang juga ingin menang? Gimana dong?

Kalau kita sedang merasa ingin menang di dalam hubungan kita dengan orang lain sampai kita merasakan ada kemarahan, itu tandanya kita sudah masuk ke dalam fase power struggle. Seorang yang menantang orang lain untuk masuk ke dalam power struggle cuma punya satu tujuan: Menang. Dia ingin membuktikan kalau dia punya power atas orang lain.

Power struggle ini bisa dialami di dalam setiap relasi manusia. Misalnya saja antara orangtua dan anak. Anak bisa bersikap nakal dan ‘menantang’ orangtua untuk melihat sampai di mana si orangtua akan marah dan mengkoreksi dia. Atau, jangan-jangan si orangtua tidak berani mengkoreksi si anak?

Atau sebut saja perdebatan di antara dua teman tentang partai politik misalnya. Perdebatan semacam ini bisa membuat dua orang yang bersahabat bertengkar hebat dan saling memaki/menyakiti. Sebenarnya bukan partai pilihannya yang menjadi masalah, tapi keinginan dari kedua orang itu untuk memenangkan perdebatan tersebut. Keinginan untuk membuktikan: saya benar, dan kamu harus menurut pada saya.

πŸ“ Ini ups banget deh pokoknya, saya gampang banget jatuh dalam situasi seperti ini. πŸ™ˆ

Dan kalau ada satu pihak yang akhirnya menang, meskipun si pihak yang kalah sepertinya bisa menerima kekalahan ini, tetapi hal ini membuka peluang bagi tahap berikutnya: Balas dendam.

Widih, seru amat sampai balas dendam segala. Kayaknya gak mungkin banget deh, kekanak-kanakan sekali kalau setiap kali kita berelasi dengan orang lain, jatuh kepada power struggle dan berakhir dengan balas dendam. Tapi ya kalau kita pikirkan iya juga lho.

Misalnya kasus anak yang bermasalah dengan orangtuanya. Awalnya dia merasa harus menang dari aturan-aturan orangtuanya tapi lalu tidak bisa. Lalu sebagai cara ‘balas dendam’ anak ini mulai bertingkah: bolos sekolah, membuat kekacauan, bersikap nakal – semuanya untuk menarik perhatian orangtuanya dan juga untuk membuat repot mereka.

Meminta maaf bukan tanda kekalahan

Ketika relasi antara manusia sudah sampai pada tahap balas dendam ini, relasi ini sudah sulit untuk diperbaiki. Cara satu-satunya untuk mencegah hal ini adalah: kalau kita ditantang orang lain untuk masuk ke dalam power struggle, jangan terpancing untuk terlibat di dalamnya.

Di dalam power struggle, orang terpancing untuk marah. Padahal, marah itu bukanlah perasaan yang tidak bisa dikendalikan. Sebaliknya, kemarahan adalah sebuah alat/sarana untuk membuat orang lain tunduk kepada kita.

Perbedaan pendapat di antara dua pihak tetap bisa diselesaikan dengan cara berkomunikasi tanpa rasa marah. Kita tidak perlu bergantung pada cara marah ini hanya supaya point yang kita buat diperhatikan oleh orang lain. Kalau ada orang-orang yang bilang mereka memang cepat marah, itu disebabkan mereka tidak tahu bahwa ada metode komunikasi efektif lain selain menunjukkan kemarahan.

Metode yang lain itu adalah menggunakan kekuatan bahasa, dan logika.

Hal lain yang perlu diperhatikan di dalam urusan power struggle ini adalah: kalau kita ada di dalam perdebatan dengan orang lain, jangan sampai merasa bahwa kita lah yang benar. Begitu kita merasakan seperti itu: saya yang benar, dia yang salah, kita masuk ke dalam power struggle. Kita masuk pada keinginan untuk membuktikan kebenaran kita ini.

Lho, tapi gimana dong, jadi ngalah aja? Meskipun kita benar? (Jujurly saya merasa bingung dengan point ini)

In the first place, the rightness of one’s assertions has nothing to do with winning and losing. If you think you are right, regardless of what other’s people opinions might be, the matter should be closed then and there. However, many people will rush into a power struggle, and try to make others submit to them. And that is why they think of ‘admiting a mistake’ as ‘admitting defeat’.

TCD, p. 87

πŸ“ Trus gimana dong, kalau ada orang salah dan kita percaya bahwa prinsip kita yang benar, masak nggak dikoreksi? Sebagai orang yang nggak sabaran, ini sulit buat saya. Tapi kalau kita lihat dari kata rush di atas, saya menyimpulkan bahwa menurut buku ini, serahkan sebagian keputusan juga kepada waktu.

πŸ“ Kalau kita memang percaya cara atau pendapat kita lah yang benar, ya itu tadi kata buku itu: case is closed. Bahwa pihak lain tidak mau percaya/mengikuti pendapat kita, biarkanlah waktu yang menjawab. Mungkin memang cara dia ada benarnya, atau ya mungkin biarkan saja ada masalah yang terjadi dulu. Lalu kedua pihak akan duduk bersama kembali dan mencari cara lain yang lebih efektif.

πŸ“ Susah? Susah dong. Saya kan nggak sabaran. Tapi mari kita coba. Yang jelas: no need masuk ke power struggle, nggak perlu marah sebagai alat menuju kemenangan, bahkan nggak ada kebutuhan untuk menang! Karena seperti kata buku ini:

The pursuit of superority is not something that is carried out through competition with other people.

TCD, p. 87

Jadi, tidak ada kebutuhan untuk menang. Bahkan ketika kita harus mengalah atau mengaku kalau kita salah – itu semua bukan kekalahan. Karena hidup ini bukan kompetisi!

#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day08

8 thoughts on “The Courage to Be Disliked – 2nd Chapter: All Problems are Relationship Problems (4)

  1. kalau orang lain dikoreksi ga mau terima, ya berarti tugas kita udah selesai apalagi kalau kita ga cukup sabar buat menjelaskan apa yang menurut kita salah.

    pada akhirnya kebenaran itu kembali ke value masing-masing orang. jadiiii terima aja kalau kdg2 akan ada orang yang ga mau dikoreksi.

  2. Dea, aku suka chapter yang ini. Sesuai dengan situasi yang lagi kuhadapin sekarang hehe.

    Sebagai si non competitive person, aku bisa paham sekarang kena ada yang selalu ingin menang.

    Nanti kubaca juga ah chapter yang lain. Good idea juga lho nulis seperti ini, terutama untuk buku2 yang “susah” dipahami.

    Thanks ya Dea

  3. Menarik banget bukunya, pengen cari deh…

    Abis baca blog ini langsung terngiang ngiang bahwa kompetisi yang sebenarnya bukanlah dengan orang lain tetapi dengan diri sendiri

    Terima kasih teh, sudah menulis tentang ini

  4. Dulu ak pikir prilaku kompetitif itu akibat pola asuh, sampai lihat anak sendiri yang sangat kompetitif padahal sekelilingnya santai. Dari situ percaya itu genetik karena ak dulu jg begitu. Dan mengajarkan untuk ‘nrimo’ , menerima kekalahan, ternyata sama sekali ngga gampang πŸ˜‚

  5. Soal berkompetisi ini berhubungan banget sama buku yang lagi aku baca. Katanya sekolah di Belanda itu ga ada kompetisi seperti di US dan UK (negara asal penulis). Perkembangan kemampuan satu anak dilihat dari track record dia sendiri, bukan dari standar umum. Teh Dea pasti lebih berpengalaman, soalnya anakku masih TK, hehe..

    Jadi, anak-anak di Belanda ga dibesarkan dalam lingkungan pendidikan yang kompetitif. Mungkin itu juga sedikit banyak berpengaruh ke cara pandang masyarakat soal kompetisi, ya. Di Indonesia anak-anak udah berkompetisi dari kecil. Apa karena itu, banyak orang dewasa yang sikut-sikutan? Heu πŸ€ͺ

  6. Aku udah komen tapi pengen komen lagi soal kompetisi.

    Dulu aku pikir aku bukan orang yang punya ambisi, jadi ga pernah merasa orang lain sainganku. Tapi jangan-jangan aku dari dulu penganut paham Adlerian ya hahahah… hidup selow aja gitu hehehehe

Leave a Reply to Tria Barmawi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *