Pelajaran yang lalu dari buku ini adalah akar dari semua permasalahan adalah masalah relasi interpersonal alias relasi dengan orang lain.
Sang filosofer meneruskan penjelasannya (penjelasannya memang muter-muter, tapi kita akan kembali ke point di atas meskipun tidak melalui jalan tol) mengenai hal ini dengan mengangkat isu ‘feeling of inferiority‘ alias perasaan rendah diri.
In Adler’s native German, the word (inferiority) is Minderwertigkeitsgefühl, which means a feeling (Gefühl) of having less (minder) worth (Wert). So, ‘feeling of inferiority is a term that has to do with one’s value judgement of oneself.
TCD, p. 54
Feeling of inferiority itu perasaan kamu sahaja!
Perasaan rendah diri alias perasaan minder sebenarnya adalah sebuah interpretasi subyektif yang dimiliki seseorang akan dirinya, dan bukanlah sebuah fakta objektif.
📝 Catatan: minder sebenarnya adalah kata yang sering digunakan secara kurang tepat. Minder itu artinya less atau lebih sedikit di dalam bahasa Belanda. Jadi harusnya kita tidak bilang saya minder, karena itu kalimat yang tidak lengkap. Saya sedikit, sedikit apa? Sedikit gemuk? Sedikit kurang beruntung? Hihihi, jadi harus ada kata sifat ya di belakang kata minder. Itu baru benar.)
Misalnya, sang filosofer adalah seorang pria yang tingginya 155 cm. Tinggi badan yang kurang dari standard rata-rata tinggi badan laki-laki. Apakah si filosofer merasa rendah diri karena hal ini? Tadinya iya, dia sempat merasa bahwa bila saja dia lebih tinggi sedikit, hidupnya akan lebih bahagia.
Sampai seorang temannya bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan bila tinggi badanmu lebih dari ini, hidupmu akan lebih bahagia? Kamu punya talenta untuk membuat orang lain merasa lebih tenang (dengan proporsi tubuh seperti itu).” Barulah kemudian si filosofer menyadari, badannya yang kecil bukanlah sebuah hal yang buruk. Dengan tubuh yang kecil dia membuat orang lain lebih santai dan bersikap terbuka di dalam menceritakan kesulitan mereka kepadanya. Mungkin bila dia tinggi besar, orang malah akan merasa terintimidasi dengan kehadiran dia.
Jadi, perasaan inferiority adalah masalah sudut pandang kita terhadap keadaan kita. Perasaan ini timbul ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain. Coba saja di dunia ini tidak ada orang lain selain diri kita sendiri, pasti tidak akan ada perasaan mengapa saya pendek/gemuk/bodoh dan lain-lain karena tidak ada perbandingan. Di sinilah letak argumen Adler bahwa masalah rendah diri itu juga berakar dari masalah relasi antar manusia.
Perasaan rendah diri bisa diatasi dengan cara mengubah cara berpikir kita tentang nilai (value) hal yang kita kuatirkan tersebut. Bila cara kita menilai diri kita berubah, kita menjadi tidak kuatir lagi akan hal yang kita anggap kurang.
📝 Ada sebuah video yang tonton di Facebook tentang seorang prajurit Amerika kulit hitam yang menghadapi intimidasi rasisme dari seorang wanita berkulit putih. Di dalam video yang dia rekam sebagai respon dari kejadian ini, sang prajurit muda ini berkata, “Tidak masalah apapun yang orang katakan kepada saya, tetapi yang menentukan adalah apa respon saya terhadap kata-kata tersebut akan mereflesikan bagaimana saya menilai diri sendiri. Saya tidak peduli bila orang bilang saya hitam atau kepala saya besar, saya percaya Tuhan sudah menciptakan saya dengan cinta-Nya yang besar, dan Dia membuat saya persis dengan tujuan yang Dia miliki untuk hidup saya.
📝 Dalam hal rasa rendah diri ini saya setuju dengan Adler bahwa perasaan rendah diri adalah sebuah perasaan subjektif – hanyalah sebuah perasaan yang timbul dari bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri. Tapi sama seperti prajurit Amerika di atas, saya percaya bahwa seseorang tidak akan punya penilaian yang genuinely benar tentang dirinya kalau dia tidak mengerti apa penilaian Tuhan akan dirinya. Kalau dia percaya bahwa dirinya sebagaimana dia ada adalah di dalam rencana dan pengetahuan Tuhan, dia akan bisa dan mau mengembangkan diri (bila hal itu dimungkinkan) tanpa perasaan benci atau kesal dengan kekurangan dirinya tersebut.
Inferiority complex itu cuma excuse alias pembenaran belaka
Feeling of inferiority ini sendiri sebenarnya tidak jelek dan pasti dimiliki oleh semua orang. Ketika seseorang merasa dirinya belum cukup baik di dalam satu hal, ada dorongan untuk menjadi lebih baik. Dorongan untuk berkembang ini dinamakan Adler sebagai ‘pursuit of superiority‘.
Jadi bukan saja perasaan rendah diri ini wajar untuk dimiliki (dan pasti dimiliki setiap orang), tapi juga bisa digunakan sebagai pemacu untuk perkembangan!
Yang repot adalah ketika seseorang memutuskan untuk berlama-lama berkubang di dalam cara pandang rendah diri ini lalu menggunakan perasaan rendah diri ini untuk menjadi excuse, pembenaran untuk tidak bisa berubah. Di situlah feeling of inferiority berubah menjadi ‘inferiority complex‘.
A ‘complex’ refers to an abnormal mental state made up of a complicated group of emotions and ideas.
TCD, p. 60
Misalnya seseorang yang memiliki inferiority complex akan berkata, “Saya tidak berpendidikan tinggi, jadi saya tidak mungkin sukses.” Atau “Orangtua saya bercerai, jadi saya tidak bisa menikah.” Hal ini bisa menjadi ‘benar’ di dalam pandangan psikologi aetiology Freud, tetapi di dalam pandangan teleology Adler hal ini tidak diterima sebagai sebuah alasan seseorang tidak bisa melakukan sesuatu.
Sebaliknya, Adler berpendapat bahwa orang ini bukan tidak bisa, tapi tidak mau (the attributing of purpose).
📝 Jadi, setiap kali ada saya bilang, “saya memang begini, tidak bisa berubah” – bunyi kalimat yang sebenarnya adalah: “Saya ini tidak mau berubah. Saya mau tetap seperti ini saja.” Gimana, pemirsa, pedih? Pedih kan!
#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day06
tidak bisa vs tidak mau, noted, jleb banget ya, ga bisa nyari excuse apa2 lagi dong kalau gini caranya
iye.. semuanya bakal direphrase: nggak bisa atau nggak mau? Tapi aku ingat ya pas aku kecil aku sering banget bilang, aku ini emang pemarah dan emosian, aku nggak bisa berubah. Mama suka bilang, gak bisa atau gak mau? 🙈